HUKUM PEMBUKTIAN.
Masalah
hukum adalah masalah pembuktian di pengadilan. Demikian yang sering dikatakan
orang. Oleh karena itu, peran dari pembuktian dalam suatu proses hukum di
pengadilan sangatlah penting. Banyak kasus hukum yang menunjukkan kepada kita
betapa karena salah dalam menilai pembuktian, seperti karena siksi berbohong,
maka pihak yang sebenarnya tidak bersalah harus meringkuk di dalam penjara
karena dinyatakan bersalah oleh hakim. Sebaliknya, banyak juga karena salah
dalam menilai alat bukti, atau tidak cukup kuat alat bukti, orang yang
sebenarnya bajingan dan telah melakukan kejahatan, bisa diputuskan bebas oleh
pengadilan. Kisah-kisah peradilan sesat seperti itu, selalu saja terjadi dan
akan terus terjadi karena keterbatasan hakim, jaksa, advokat, hukum, utamanya
hukum acara dan hukum pembuktian. Dengan demikian, untuk menghindari atau
setidak-tidaknya meminimalkan putusan-putusan pengadilan yang tersesat
tersebut, kecermatan dalam menilai alat bukti di pengadilan sangat diharapkan,
baik dalam kasus pidana maupun dalam kasus perdata
Akan
tetapi, sebelum kita melangkah jauh tentang berbagai seluk-beluk mengenai teori
hukum pembuktian ini, ada baiknya terlebih dahulu kita melihat apa sebenarnya
yang dimaksud dengan hukum pembuktian itu.
Hukum
adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentanq pembuktian. Menurut hemat
penulis, yang dimaksud dengan pembuktian dalam ilmu hukum baik dalam acara
perdata maupun pidana, maupun acara acara lainnya, dimana dengan menggunakan
alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur-prosedur khusus
untuk menget apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau
pernyataan yang dipersengketakan di Pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan
oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang
dinyatakan itu.
Ada
suatu perbedaan yang tajam antara pembuktian dalam hukum acara pidana dan
pembuktian dalam hukum acara perdata. Di samping perbedaan tentang jenis alat
bukti, terdapat juga perbedaan tentang system pembuktian.
Sistem pembuktian dalam acara pidana
dikenal dengan system negative (negatief wettelijk bewijsleer), dimana yang
dicarai oleh hakim adalah_kebenaran yang materil, sedangkan dalam_hukum acara perdata
berlaku sistem pernbuktian positif (poslfief wettelijk bewijsleef), di mana
yang dicari oleh hakim adalah kebenaran yang formal.
Yang
dimaksud dengan system negative, yang merupakan sistem yang berlaku dalam hukum
acara pidana, adalah suatu sistem pembuktian di depan pengadilan agar suatu
pidana dapat dijatuhkan oleh hakim, haruslah memenuhi dua syarat mutlak, yaitu:
1. alat bukti yang cukup dan
2. keyakinan hakim"
Dengan
demikian, tersedianya alat bukti saja belum cukup untuk menjatuhkan hukuman
pada seorang tersangka. Sebaliknya, meskipun hakim sudah cukup yakin akan
kesalahan tersangka, jika tidak tersedia alat bukti yang cukup, pidana belum
dapat dijatuhkan oleh hakim.
Sistem pembuktian negatif ini diakui
berlakunya secara eksplisit oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
melalui Pasal 183. menyatakan sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua atat bukti yang sah, ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya."
Sistem
pembuktian negatif dalam sistem pembuktian pidana diberlakukan karena yang
dicari oleh hakim-hakim pidana adalah suatu kebenaran materil (materiele waarheid).
Seperti telah disebutkan bahwa karena
dalam sistem pembuktian perdata berlaku sistem positif, maka yang akan dicari oleh
hakim adalah suatu kebenaran formal sehingga jika alat bukti sudah mencukupi
secara hukum, hakim harus mempercayainya sehingga unsure keyakinan hakim dalam
system hukum pembuktian perdata tidak berperan.
Sebenamya,
di samping sistem negatif (dalam pembuktian pidana) dan sistem positif (dalam
pembuktian perdata), masih ada sistem pembuktian lain lagi yang disebut dengan
sistem pembuktian semata-mata keyakinan hakim (bloot gemoedeliikke overtuiging)
yaitu. suatu sistem pembuktian yang semata-mata mengandalkan keyakinan hakim,
yang berarti jika sudah ada keyakinan hakim, suatu masalah dianggap_terbukti meskipun
alat buktinya tidak cukup membuktikan. Sistem pembuktian yang terlalu berpegang
pada unsur keyakinan hakim seperti ini tidak dianut dalam sistem hukum
lndonesia.
Seperti
telah disebutkan bahwa dalam bidang hukum perdata, karena yang dicari oleh
hakim hanyalah suatu kebenaran formal, jadi bukan kebenaran yang sesungguhnya,
bahkan suatu kebenaran yang bersifa!"kemungkinan" (probable) saja
sudah mencukupi, maka suatu kebenaran yang sesungguhnya sulit diwujudkan dalam
praktik. Hal ini disebabkan oleh beberapa halsebagai berikut:
- Faktor sistem adversarial, yang memberikan hak seluas-luasnya kepada para pihak untuk saling membuktikan, saling membantah, dan saling mengajukan argumennya masing-masing.
- Karena menggunakan sistem adversarial, fungsi hakim pasif saja dalam acara perdata, hakim tidak bolek aktif seperti dalam system inkuisitorial. Pada prinsipnya, hakim perdata tidak boleh memutuskan melebihi dari hanya yang dikemukakan dan diminta oleh para pihak yang berperkara, dan harus memutuskan sesuai dengan bukti-bukti yang ada sekalipun hakim menyangsikan kebenaran dari pembuktian tersebut.
- Sulitnya mencari kebenaran dari suatu alat bukti disebabkan tidak adanya keharusan untuk menggunakan sistem pencarian keadilan melalui pemakaian metode ilmiah dan teknologi, yang tingkat kebenarannya dapat terukur. Bahkan, di mana-mana masih banyak hambatan untuk secara langsung menerima alat bukti sainstifik di pengadilan. Hal ini terjadi dalam sistem pembuktian pidana, terlebih lagi dalam sistem pembuktian perdata.
Di
samping alasan-alasan tersebut di atas, terdapat pula berbagai kelemahan lainnya
dari alat bukti tersebut, baik dalam bidang hukum pidana maupun dalam bidang
hukum perdata, yang menyebabkan pencarian keadilan tidak selamanya dapat
direalisasi. Kelemahan-kelemahan tersebut, misalnya, sebagai berikut:
- Alat Bukti yang palsu.
- Alat bukti yang hanya menghasilkan prasangka atau dugaan saja.
- Kebohongan/kelicikan.
- Keterbatasan para pihak untuk membuktikan.
- Keterbatasan hakim dalam menafsirkan penggunaan dari alat bukti.
- Mafia peradilan.
Teori
hukum pembuktian mengajarkan bahwa agar suatu alat bukti dapat dipakai sebagai
alat bukti di pengadilan diperlukan beberapa syarat-syarat
sebagai berikut:
Diperkenankan
oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.
- Reability, yakni atat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misallya, tidak palsu).
- Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta.
- Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.
Di
samping itu, jika dilihat dari segi kedekatan antara alat bukti dan fakta yang
akan dibuktikannya, terdapat dua macam alat bukti, yaitu sebagai berikut:
- Alat bukti langsung dan
- Alat bukti tidak langsung
Yang
dimaksud dengan alat bukti langsung ( direct evidence) adalah alat bukti dimana
saksi melihat langsung fakta yang akan dibuktikan sehingga fakta tersebut
terbukti langsung ( dalam satu tahap saja ) dengan adanya alat bukti tersebut.
Adapun
yang dimaksud dengan alat bukti yang tidak langsung ( indirect evidence ) atau
yang disebut juga dengan alat bukti sirkumstansial adalah suatu alat bukti
dimana antara fakta yang terjadi dan alat bukti tersebut hanya dapat dilihat
hubungannya setelah ditarik kesimpulan-kesimpulan tertentu.
contoh
dari alat bukti langsung adalah manakala saksi melihat langsung bahwa si pelaku
kejahatan mencabut pistolnya dan menembak ke arah korban, saksi mendengar bunyi
letusan, dan kemudian melihat langsung korban terkapar.
Sedangkan
contoh dari bukti tidak langsung (bukti sirkumstansial) adalah manakala di
tempat kejadian, saksi untuk kasus pembunuhan melihat korban tersungkur dengan
darah di perutnya, dan di dekatnya terlihat tersangka memegang pisau yang
berlumuran darah, dan kemudian pelaku melarikan diri. Jadi, saksi sebenarnya
tidak melihat dengan matanya sendiri tentang proses terjadinya pembunuhan
tersebut, tetapi dari keterangan dalam kesaksiannya, dapat ditarik kesimpulan
bahwa korban dibunuh oleh tersangka dengan pisau.
Selanjutnya,
jika dilihat dari segi fisik dari alat bukti, alat bukti tersebut dapat dibagi
ke dalam tiga kategori, yaitu:
- alat bukti testimonial,
- alat bukti yang berwujud, dan
- alat bukti berwujud, tetapi bersifat testimonial.
Yang
dimaksud dengan alat bukti testimonial adalah pembuktian yang diucapkan (oral testimony) yang diberikan oleh
saksi di depan pengadilan. Sedangkan yang dimaksudkan dengan alat bukti yang
berwujud (tangible evidence) adalah model-model alat bukti yang dapat dilihat wujudnya/
bentuknya, yang pada prinsipnya terdiri atas dua macam, yaitu:
- Alat Bukti Riil.
Dalam
hal ini, yang dimaksud dengan alat bukti riil adalah sejenis alat bukti yang
merupakan benda yang nyata ada di tempat kejadian,
misalnya, pistol atau pisau yang telah
digunakan untuk membunuh, atau rnesin yang tidak berfungsi sehingga menyebabkan
kecelakaan.
2. Alat
Bukti Demonstratif.
Yang
dimaksudkan dengan alat bukti demonstratif adalah alat bukti yang merupakan
benda yang nyata tetapi bukan benda yang ada di tempat kejadian, misalnya, alat
bantu visual atau audio visual, foto, gambar, grafik, model anatomi tubuh, dan
sebagainya.
Selanjutnya,
yang dimaksud dengan alat bukti berwujud, tetapi bersifat testimonial adalah
bentuk campuran antara alat bukti testirnonial dan alat bukti berwujud. Dalam
hal ini, sebenarnya alat bukti tersebut fisiknya berwujud, tetapi memiliki
sifat yang testimonial, misalnya, transkrip dari keterangan saksi (deposisi)
atau transkrip dari kesaksian dalam sidang sebelumnya di kasus yang lain.
Bahwa
dalam kenyataannya di samping alat bukti konvensional yang sudah lama dikenal, seperti
alat bukti surat, saksi, pengakuan, dan sebagainya, sangat banyak model alat
bukti yang nonkonvensional, tidak terantisipasi pada saat HIR ataupun KUHAP
dibentuk, misalnya, tentang alat bukti elektronik, sainstifik, dan lain-lain.
oleh karena itu, dapat atau tidaknya diterima alat bukti tersebut di
pengadilan, masih mengandung banyak perdebatan. Akan tetapi, menurut hemat
penulis, agar hukum pembuktian kita tidak ketinggalan kereta api, alat-alat
bukti nonkonvensional tersebut haruslah dipertimbangkan hakim untuk diterima
sebagai alat bukti di pengadilan. Hal ini dapat dilakukan, baik lewat alat
bukti "persangkaan" dalam hukum acara perdata (vide Pasal 164 HIR)
maupun melalui alat bukti "petunjuk" dalam hukum acara pidana (vide
Pasal 184 KUHAP)'
Sebagaimana
diketahui bahwa alat bukti persangkaan dalarn hukum acara perdata terdiri atas
persangkaan berdasarkan undang-undang atau persangkaan berdasarkan pendapat
hakim. Persangkaan yang berdasarkan Undang-undang, suatu persangkaan hukum
dengan fakta-fakta yang dapat menimbulkan
persangkaan tersebut ditunjukkan sendiri oleh undang undang. Adapun untuk
persangkaan yang berdasarkan pendapat hakim,
undang-undang tidak secara tegas menunjukkan fakta fakta yang dapat
menimbulkan persangkaan tersebut, tetapi atas fakta-fakta tersebut, hakim
secara logis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa suatu persangkaan hukum telah
terjadi. sebagai contoh, jika menurut ilmu tentang golongan darah bahwa seorang
anak mempunyai golongan darah yang tidak cocok dengan golongan darah dari
ayahnya jika dikombinasi dengan golongan darah ibunya, hal ini dapat menjadi
bukti persangkaan bagi hakim bahwa
anak tersebut tidak lahir dari pasangan
suami istri yang bersangkutan.
contoh-contoh dari persangkaan yang
berdasarkan undang-undang adalah sebagai berikut:
1. Jika
suatu barang bergerak, baik yang tidak berupa bunga maupun piutang yang tidak
harus dibayar kepada si pembawa, ada suatu persangkaan bahwa siapa yang
menguasai barang tersebut selama ini dia dianggap sebagai pemiliknya(vide Pasal
1977 ayat (1) KUH Perdata
2. Setiap
anak yang lahir selama perkawinan, menimbulkan persangkaan hukum bahwa ayah dalam
perkawinan tersebut adalah ayah dari anak yang bersangkutan Lihat Pasal 250 KUHPerdata.
3. Jika
suatu sewa rumah yang dibayar Secara berkala sudah dapat dibuktikan uang sewa
sudah dibayar untuk tiga periode terakhir, dalam hal ini timbul persangkaan
bahwa sewa sudah dibayar untuk periode-periode sebelumnya, kecuali pihak yang
menyewakan dapat membuktikan sebaliknya. Persangkaan Seperti ini kita dapati dalam
Pasal 1394 KUH Perdata, yang menyatakan sebagai berikut: "Mengenai
pembayaran sewa rumah, sewa tanah, tunjangan tahunan untuk nafkah, bunga abadi
atau bunga cagak hidup, bunga uang pinjaman, dan segala sesuatu yang pada umumnya
harus dibayar setiap tahun atau tiap periode yang lebih pendek, maka dengan
adanya tiga tanda bukti pembayaran secara berturut-turut, timbul suatu
persangkaan bahwa angsuran- angsuran yang lebih dahulu telah dibayar lunas,
kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. "
HAL
HAL YANG BERKAITAN DENGAN PEMBUKTIAN
A.
DASAR HUKUM PEMBUKTIAN
Hukum
pembuktian merupakan bagian dalam hukum acara perdata, yang diatur dalam:
- Pasal 162 - 177 HIR;
- Pasal 282 - 314 RBg;
- Pasal 1865 - 1945 BW;
- Staatsblad 1867 Nomor: 29.
- 1. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan hukum tidak mengaturnya atau kurang jelas (Pasal 16 ayat (1) UU No. 4/Th. 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman). Oleh karena itu hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 27 UU No. 14/Th. 1970).
- Apabila hakim menjumpai kesulitan di dalam praktik maka harus mencari pemecahan masalah dengan: a) doctrin/ajaran, b) yurisprudensi.
B.
SISTEM PEMBUKTIAN
Dalam hukum acara perdata dianut sistem
pembuktian positif, artinya:
a) sistem
pembuktian yang menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat-alat bukti
yang telah ditentukan oleh undang-undang;
b) suatu
gugatan dikabulkan hanya didasarkan pada alat-alat bukti yang sah. Alat bukti
yang ditentukan oleh undang-undang adalah penting. Keyakinan hakim sama sekali
diabaikan.
c) pada
pokoknya suatu gugatan yang sudah memenuhi cara-cara pembuktian dengan alat
bukti yang sah yakni sesuai dengan ketentuan undang undang, maka gugatan harus
dikabulkan;
d) hakim
laksana robot yang menjalankan undang undang. Namun demikian ada kebaikan dalam
sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan dalih-dalih dalam
gugatan atau dalam jawaban atas gugatan tanpa dipengaruhi oleh nuraninya,
sehingga benar-benar obyektif, yaitu menurut cara-cara dan alat bukti yang
ditentukan oleh utrdang-undang;
e) dalam
sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formal,
1. Dalam
mencari kebenaran yuridis menurut van Kan tidaklah sama, Dalam hukum acara pidana yang dicari adalah kebenaran
materiil, yang berarti bahwa di dalam mencari kebenaran hakim tidak terikat
pada keterangan atau alat-alat bukti yang diajukan oleh jaksa atau terdakwa
saja, bahkan hakim dilarang menerima kebenaran peristiwa berdasarkan pengakuan
terdakwa semata-mata, karena tujuan hukum acara pidana bukanlah menyelesaikan
sengketa,
2. Oleh
karena hukum acara pidana, lebih menyangkut hak-hak asasi terdakwa, maka
persyaratannya lebih berat, sehingga hakim tidak terikat pada apa yang
dikemukakan oleh jaksa atau terdakwa semata-mata.
Sedangkan
dalam hukum acara perdata yang dicari
adalah kebenaran formil, yang berarti bahwa hakim terikat pada peristiwa yang
diakui oleh Tergugat atau apa yang tidak dipersengketakan, disini cukup dengan
pembuktian yang tidak meyakinkan tetapi layak.
3. Sistem
pembuktian lainnya.
a) Conviction
ln Time
1.
ajaran pembuktian conviction
in time adalah suatu ajaran pembuktian yang, menyandarkan pada keyakinan hakim.
2.
hakim di dalam menjatuhkan
putusan tidak terikat dengan alat bukti yang ada. Darimana hakim menyimpulkan putusannya,
tidak menjadi masalah. Ia boleh
menyimpulkan dari alat bukti yang ada di dalam persidangan atau mengabaikan
alat bukti yang ada;
3.
akibatnya dalam memutuskan
perkara menjadi subyektif sekali, hakim tidak perlu menyebutkan alasan_alasan
yang menjadi dasar putusannya.
b). Conviction
ln Raisone
1. ajaran
pembuktian ini juga masih menyandarkan pola kepada keyakinan hakim. Hakim tetap
tidak terikat pada alat-alat bukti yang telah ditetapkan dalam undang-undang;
2. meskipun
alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang, tetapi hakim, bisa
mempergunakan alat-alat bukti di luar yang ditentukan oleh undang-undang;
3. namun
demikian di dalam mengambil keputusan haruslah didasarkan pada alasan-alasan
yang jelas;
4. jadi
hakim harus mendasarkan putusannya berdasarkan alasan (reasoning). Oleh karena itu putusan tersebut juga berdasarkan
alasan yang dapat diterima akal (Reasonable);
5. keyakinan
hakim haruslah didasari dengan alasan yang logis dan dapat diterima oleh akal dan
nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas;
6. sistem
pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas (vrij bewijs).
c). Sistem Pembuktian Negatif
1. sistem
pembuktian negatif (negatief wettelijk)
sangat mirip dengan sistem pembuktian conviction
in raisone;
2. hakim
di dalam mengambil keputusan terikat oleh alat bukti yang ditentukan oleh
undang undang dan keyakinan (nurani) hakim sendiri;\
3. jadi
di dalam sistem pembuktian negatif ada 2 (dua) hal yang merupakan syarat untuk membuktikan:
1.
Wettelijk: Ada alat bukti yang sah yang telah ditentukan oleh undang undang.
2.
Negatief : Adanya keyakinan (nurani) hakim yang didasarkan pada alat
bukti tersebut.
4. alat
bukti yang telah ditentukan oleh undang undang tidak bisa ditambah dengan alat
bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan di persidangan seperti
yang ditentukan oleh undang-undang, belum bisa memaksa hakim menyatakan
terbukti;
5. sistem
pembuktian inilah yang dianut oleh hukum acara pidana kita. (Pasal 183 KUHAP).
C.
BEBAN PEMBUKTIAN
Di
dalam persidangan yang harus membuktikan adalah para pihak yang bersengketa.
Sedangkan hakim yang memerintahkan para pihak untuk mengajukan alat bukti untuk
membenarkan dalih-dalihnya/peristiwa peristiwa yang dikemukakan. Hakim yang
membebani para pihak dengan pembuktian (bewijslast,
burden of
proof).
- Sudikno Mertokusumo mengemukakan: Dalam proses perdata terdapat pembagian tugas yang tetap antara para pihak dan hakim. Para pihak yang harus mengemukakan peristiwanya, sedangkan soal hukum adalah urusan hakim.
·
Dalam proses pidana tidaklah
demikian, di sini terdapat perpaduan antara penetapan peristiwa dan penemuan
hukum. Jaksa tidak membuktikan. La mempunyai inisiatif penuntutan, dan dalam
tuduhannya menentukan tema kemana proses harus diarahkan, tetapi ia selanjutnya
ia sama kedudukannya dengan pembela dan hakim dalam diskusi di persidangan. Dalam
hukum acara pidana lebih tepat dikatakan bahwa hakimlah yang membuktikan.
- Asas umum pembagian pembuktian, terdapat dalam Pasal 163 HIR/283 RBg/1865 BW, yang merupakan pedoman umum bagi para hakim. Pasal tersebut berbunyi: "Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu".
- Berpedoman pada ketentuan di atas, maka baik Penggugat atau Tergugat dapat dibebani pembuktian.
- Dalam praktik, mengenai beban pembuktian sebagaimana di atur dalam ketentuan tersebut di atas, tidak dapat memberikan pemecahan dengan cara yang memuaskan, karena kedua belah pihak oleh pasal tersebut dapat ditunjuk untuk memikul beban pembuktian.
- Di samping itu yang perlu diingat oleh hakim dalam pembuktian adalah bahwa seseorang tidak selalu dapat membuktikan kebenaran suatu peristiwa. Membuktikan tidak selalu mudah. Terutama membuktikan sesuatu yang bersifat negatif . Misalnya tidak menerima uang, tidak berhutang dan sebagainya. Segala sesuatu yang bersifat tidak, pada umumnya sukar atau ada kemungkinan tidak bisa dibuktikan.
Masalah
beban pembuktian sangat penting adanya. Jika orang dapat membuktikan segala apa
yang benar, dan tidak akan pernah berhasil membuktikan apa yang tidak benar,
alangkah kecil artinya soal itu. Akan tetapi karena tidak selamanya dapat
membuktikan apa yang benar dan orang sekali sekali dapat membuktikan apa yang
tidak benar, maka pembagian beban pembuktian acap kali menentukan hasil
perkara. Karena apabila hakim memerintahkan salah satu pihak membuktikan
kebenaran dari apa yang dikemukakan, maka ia akan kalah dalam perkara (sekurang-kurangnya
ia akan dirugikan dalam perkara), apabila ia tidak berhasil, atau tidak mencoba
memberikan bukti yang diperintahkan kepadanya. Memang benar bahwa undang-undang
kadang-kadang menentukan sendiri beban, tetapi hal demikian jarang terjadi. Sebagian
besar tidak terdapat pengaturannya dalam undang-undang, sehingga masalah
tersebut tetap menimbulkan kesulitan bagi hakim.
Lalu
bagaimanakah sebaiknya?, Dalam mencari pemecahan
yang baik bagi persoalan itu haruslah diperhatikan bahwa penyelenggaraan proses
di muka pengadilan hendaknya jangan sampai menimbulkan kerugian kepada
kepentingan para pihak. Memberi beban bukti kepada salah satu pihak dalam
proses dapat dianggap sedikit banyak (menabur) rugi pada pihak yang dibebani
wajib bukti, karena dalam hal yang bersangkutan tidak berhasil dengan
pembuktiannya ia akan dikalahkan (resiko pembuktian).
Berhubung
dengan itu maka adalah adil jika beban pembuktian itu dipikulkan kepada pihak
yang paling sedikit dirugikan. Resiko dalam pembuktian tidak boleh berat
sebelah, hakim harus adil dan menentukan beban pembuktian itu dengan
memperhatikan keadaan konkrit.
Contoh
untuk memperjelas masalah beban pembuktian :
1. Penjual barang menagih pembayaran
dari si pembeli, dengan dalih bahwa ia telah menjual dan melever suatu partai
barang kepada pembeli dan bahwa pembeli tersebut belum atau tidak membayar
harga barang tadi.
Jadi ada 3 hal yang dikemukakan oleh
penjuat:
a) Telah
menjual;
b) Telah
melever;
c) Pernbeli
belum/tidak membayar.
Karena
Pembeli menyangkal, maka berdasarkan Pasal 163 HIR/285 RBg/1865 BW, mungkin Penjual
harus dibebani untuk membuktikan ketiga hal itu (a, b, dan c).
Mengenai
a dan b memang benar, akan tetapi mengenai hal yang dikemukakan oleh Penjual mengenai
c adalah sangat berat.
Tetapi hal tersebut yakni mengenai c
akan sangat mudah apabila yang membuktikan adalah Pembeli, misalnya Penjual
menunjukkan sebuah kwitansi pembayaran.
Oleh karena itu hakim harus membagi
beban pembuktian sebagai berikut:
a) Pembuktian
dalih a dan b dibebankan pada Penjual;
b) Pembuktian
dalih c dibebankan pada pembeli.
2. Demikian pula dalam hal gugatan
mengenai warisan yang belum terbagi.
Penggugat
hendaknya membuktikan bahwa ia ahli waris dari harta yang digugat adalah harta
warisan.
Sedangkan
mengenai belum pernah terbaginya harta warisan, bukan penggugat yang membuktikan,
melainkan tergugatlah yang mengemukakan dalam bantahannya, bahwa telah pernah
terjadi pembagian harta warisan, yang dibebani untuk membuktikan pernahnya itu.