Rabu, 11 Februari 2015

HUKUM PEMBUKTIAN ( MATERI UJIAN US XII )



 HUKUM PEMBUKTIAN.
Masalah hukum adalah masalah pembuktian di pengadilan. Demikian yang sering dikatakan orang. Oleh karena itu, peran dari pembuktian dalam suatu proses hukum di pengadilan sangatlah penting. Banyak kasus hukum yang menunjukkan kepada kita betapa karena salah dalam menilai pembuktian, seperti karena siksi berbohong, maka pihak yang sebenarnya tidak bersalah harus meringkuk di dalam penjara karena dinyatakan bersalah oleh hakim. Sebaliknya, banyak juga karena salah dalam menilai alat bukti, atau tidak cukup kuat alat bukti, orang yang sebenarnya bajingan dan telah melakukan kejahatan, bisa diputuskan bebas oleh pengadilan. Kisah-kisah peradilan sesat seperti itu, selalu saja terjadi dan akan terus terjadi karena keterbatasan hakim, jaksa, advokat, hukum, utamanya hukum acara dan hukum pembuktian. Dengan demikian, untuk menghindari atau setidak-tidaknya meminimalkan putusan-putusan pengadilan yang tersesat tersebut, kecermatan dalam menilai alat bukti di pengadilan sangat diharapkan, baik dalam kasus pidana maupun dalam kasus perdata
Akan tetapi, sebelum kita melangkah jauh tentang berbagai seluk-beluk mengenai teori hukum pembuktian ini, ada baiknya terlebih dahulu kita melihat apa sebenarnya yang dimaksud dengan hukum pembuktian itu.
Hukum adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentanq pembuktian. Menurut hemat penulis, yang dimaksud dengan pembuktian dalam ilmu hukum baik dalam acara perdata maupun pidana, maupun acara acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur-prosedur khusus untuk menget apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di Pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu.
Ada suatu perbedaan yang tajam antara pembuktian dalam hukum acara pidana dan pembuktian dalam hukum acara perdata. Di samping perbedaan tentang jenis alat bukti, terdapat juga perbedaan tentang system pembuktian.
Sistem pembuktian dalam acara pidana dikenal dengan system negative (negatief wettelijk bewijsleer), dimana yang dicarai oleh hakim adalah_kebenaran yang materil, sedangkan dalam_hukum acara perdata berlaku sistem pernbuktian positif (poslfief wettelijk bewijsleef), di mana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran yang formal.
Yang dimaksud dengan system negative, yang  merupakan sistem yang berlaku dalam hukum acara pidana, adalah suatu sistem pembuktian di depan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan oleh hakim, haruslah memenuhi dua syarat mutlak, yaitu:
1. alat bukti yang cukup dan
2. keyakinan hakim"
Dengan demikian, tersedianya alat bukti saja belum cukup untuk menjatuhkan hukuman pada seorang tersangka. Sebaliknya, meskipun hakim sudah cukup yakin akan kesalahan tersangka, jika tidak tersedia alat bukti yang cukup, pidana belum dapat dijatuhkan oleh hakim.
Sistem pembuktian negatif ini diakui berlakunya secara eksplisit oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, melalui Pasal 183. menyatakan sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua atat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya."
Sistem pembuktian negatif dalam sistem pembuktian pidana diberlakukan karena yang dicari oleh hakim-hakim pidana adalah suatu kebenaran materil (materiele waarheid).
Seperti telah disebutkan bahwa karena dalam sistem pembuktian perdata berlaku  sistem positif, maka yang akan dicari oleh hakim adalah suatu kebenaran formal sehingga jika alat bukti sudah mencukupi secara hukum, hakim harus mempercayainya sehingga unsure keyakinan hakim dalam system hukum pembuktian perdata tidak berperan.
Sebenamya, di samping sistem negatif (dalam pembuktian pidana) dan sistem positif (dalam pembuktian perdata), masih ada sistem pembuktian lain lagi yang disebut dengan sistem pembuktian semata-mata keyakinan hakim (bloot gemoedeliikke overtuiging) yaitu. suatu sistem pembuktian yang semata-mata mengandalkan keyakinan hakim, yang berarti jika sudah ada keyakinan hakim, suatu masalah dianggap_terbukti meskipun alat buktinya tidak cukup membuktikan. Sistem pembuktian yang terlalu berpegang pada unsur keyakinan hakim seperti ini tidak dianut dalam sistem hukum lndonesia.
Seperti telah disebutkan bahwa dalam bidang hukum perdata, karena yang dicari oleh hakim hanyalah suatu kebenaran formal, jadi bukan kebenaran yang sesungguhnya, bahkan suatu kebenaran yang bersifa!"kemungkinan" (probable) saja sudah mencukupi, maka suatu kebenaran yang sesungguhnya sulit diwujudkan dalam praktik. Hal ini disebabkan oleh beberapa halsebagai berikut:
  1. Faktor sistem adversarial, yang memberikan hak seluas-luasnya kepada para pihak untuk saling membuktikan, saling membantah, dan saling mengajukan argumennya masing-masing.
  2. Karena menggunakan sistem adversarial, fungsi hakim pasif saja dalam acara perdata, hakim tidak bolek aktif seperti dalam system inkuisitorial. Pada prinsipnya, hakim perdata tidak boleh memutuskan melebihi dari hanya yang dikemukakan dan diminta oleh para pihak yang berperkara, dan harus memutuskan sesuai dengan bukti-bukti yang ada sekalipun hakim menyangsikan kebenaran dari pembuktian tersebut.
  3. Sulitnya mencari kebenaran dari suatu alat bukti disebabkan tidak adanya keharusan untuk menggunakan sistem pencarian keadilan melalui pemakaian metode ilmiah dan teknologi, yang tingkat kebenarannya dapat terukur. Bahkan, di mana-mana masih banyak hambatan untuk secara langsung menerima alat bukti sainstifik di pengadilan. Hal ini terjadi dalam sistem pembuktian pidana, terlebih lagi dalam sistem pembuktian perdata.
Di samping alasan-alasan tersebut di atas, terdapat pula berbagai kelemahan lainnya dari alat bukti tersebut, baik dalam bidang hukum pidana maupun dalam bidang hukum perdata, yang menyebabkan pencarian keadilan tidak selamanya dapat direalisasi. Kelemahan-kelemahan tersebut, misalnya, sebagai berikut:
  1. Alat Bukti  yang palsu.
  2. Alat bukti yang hanya menghasilkan prasangka atau dugaan saja.
  3. Kebohongan/kelicikan.
  4. Keterbatasan para pihak untuk membuktikan.
  5. Keterbatasan hakim dalam menafsirkan penggunaan dari alat bukti.
  6. Mafia peradilan.
Teori hukum pembuktian mengajarkan bahwa agar suatu alat bukti dapat dipakai sebagai alat bukti di pengadilan diperlukan beberapa syarat-syarat
sebagai berikut:
Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.
  1. Reability, yakni atat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misallya, tidak palsu).
  2. Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta.
  3. Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.
Di samping itu, jika dilihat dari segi kedekatan antara alat bukti dan fakta yang akan dibuktikannya, terdapat dua macam alat bukti, yaitu sebagai berikut:
  1. Alat bukti langsung dan
  2. Alat bukti tidak langsung
Yang dimaksud dengan alat bukti langsung ( direct evidence) adalah alat bukti dimana saksi melihat langsung fakta yang akan dibuktikan sehingga fakta tersebut terbukti langsung ( dalam satu tahap saja ) dengan adanya alat bukti tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan alat bukti yang tidak langsung ( indirect evidence ) atau yang disebut juga dengan alat bukti sirkumstansial adalah suatu alat bukti dimana antara fakta yang terjadi dan alat bukti tersebut hanya dapat dilihat hubungannya setelah ditarik kesimpulan-kesimpulan tertentu.
contoh dari alat bukti langsung adalah manakala saksi melihat langsung bahwa si pelaku kejahatan mencabut pistolnya dan menembak ke arah korban, saksi mendengar bunyi letusan, dan kemudian melihat langsung korban terkapar.
Sedangkan contoh dari bukti tidak langsung (bukti sirkumstansial) adalah manakala di tempat kejadian, saksi untuk kasus pembunuhan melihat korban tersungkur dengan darah di perutnya, dan di dekatnya terlihat tersangka memegang pisau yang berlumuran darah, dan kemudian pelaku melarikan diri. Jadi, saksi sebenarnya tidak melihat dengan matanya sendiri tentang proses terjadinya pembunuhan tersebut, tetapi dari keterangan dalam kesaksiannya, dapat ditarik kesimpulan bahwa korban dibunuh oleh tersangka dengan pisau.
Selanjutnya, jika dilihat dari segi fisik dari alat bukti, alat bukti tersebut dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu:
  1. alat bukti testimonial,
  2. alat bukti yang berwujud, dan
  3. alat bukti berwujud, tetapi bersifat testimonial.
Yang dimaksud dengan alat bukti testimonial adalah pembuktian yang diucapkan (oral testimony) yang diberikan oleh saksi di depan pengadilan. Sedangkan yang dimaksudkan dengan alat bukti yang berwujud (tangible evidence) adalah model-model alat bukti yang dapat dilihat wujudnya/ bentuknya, yang pada prinsipnya terdiri atas dua macam, yaitu:
  1. Alat Bukti Riil.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan alat bukti riil adalah sejenis alat bukti yang merupakan benda yang nyata ada di tempat kejadian,
misalnya, pistol atau pisau yang telah digunakan untuk membunuh, atau rnesin yang tidak berfungsi sehingga menyebabkan kecelakaan.
2.    Alat Bukti Demonstratif.
Yang dimaksudkan dengan alat bukti demonstratif adalah alat bukti yang merupakan benda yang nyata tetapi bukan benda yang ada di tempat kejadian, misalnya, alat bantu visual atau audio visual, foto, gambar, grafik, model anatomi tubuh, dan sebagainya.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan alat bukti berwujud, tetapi bersifat testimonial adalah bentuk campuran antara alat bukti testirnonial dan alat bukti berwujud. Dalam hal ini, sebenarnya alat bukti tersebut fisiknya berwujud, tetapi memiliki sifat yang testimonial, misalnya, transkrip dari keterangan saksi (deposisi) atau transkrip dari kesaksian dalam sidang sebelumnya di kasus yang lain.
Bahwa dalam kenyataannya di samping alat bukti konvensional yang sudah lama dikenal, seperti alat bukti surat, saksi, pengakuan, dan sebagainya, sangat banyak model alat bukti yang nonkonvensional, tidak terantisipasi pada saat HIR ataupun KUHAP dibentuk, misalnya, tentang alat bukti elektronik, sainstifik, dan lain-lain. oleh karena itu, dapat atau tidaknya diterima alat bukti tersebut di pengadilan, masih mengandung banyak perdebatan. Akan tetapi, menurut hemat penulis, agar hukum pembuktian kita tidak ketinggalan kereta api, alat-alat bukti nonkonvensional tersebut haruslah dipertimbangkan hakim untuk diterima sebagai alat bukti di pengadilan. Hal ini dapat dilakukan, baik lewat alat bukti "persangkaan" dalam hukum acara perdata (vide Pasal 164 HIR) maupun melalui alat bukti "petunjuk" dalam hukum acara pidana (vide Pasal 184 KUHAP)'

Sebagaimana diketahui bahwa alat bukti persangkaan dalarn hukum acara perdata terdiri atas persangkaan berdasarkan undang-undang atau persangkaan berdasarkan pendapat hakim. Persangkaan yang berdasarkan Undang-undang, suatu persangkaan hukum dengan fakta-fakta yang dapat  menimbulkan persangkaan tersebut ditunjukkan sendiri oleh undang undang. Adapun untuk persangkaan yang berdasarkan pendapat hakim,  undang-undang tidak secara tegas menunjukkan fakta fakta yang dapat menimbulkan persangkaan tersebut, tetapi atas fakta-fakta tersebut, hakim secara logis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa suatu persangkaan hukum telah terjadi. sebagai contoh, jika menurut ilmu tentang golongan darah bahwa seorang anak mempunyai golongan darah yang tidak cocok dengan golongan darah dari ayahnya jika dikombinasi dengan golongan darah ibunya, hal ini dapat menjadi bukti persangkaan bagi hakim bahwa
anak tersebut tidak lahir dari pasangan suami istri yang bersangkutan.
contoh-contoh dari persangkaan yang berdasarkan undang-undang adalah sebagai berikut:
1.     Jika suatu barang bergerak, baik yang tidak berupa bunga maupun piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa, ada suatu persangkaan bahwa siapa yang menguasai barang tersebut selama ini dia dianggap sebagai pemiliknya(vide Pasal 1977 ayat (1) KUH Perdata
2.     Setiap anak yang lahir selama perkawinan, menimbulkan persangkaan hukum bahwa ayah dalam perkawinan tersebut adalah ayah dari anak yang bersangkutan Lihat Pasal 250 KUHPerdata.
3.     Jika suatu sewa rumah yang dibayar Secara berkala sudah dapat dibuktikan uang sewa sudah dibayar untuk tiga periode terakhir, dalam hal ini timbul persangkaan bahwa sewa sudah dibayar untuk periode-periode sebelumnya, kecuali pihak yang menyewakan dapat membuktikan sebaliknya. Persangkaan Seperti ini kita dapati dalam Pasal 1394 KUH Perdata, yang menyatakan sebagai berikut: "Mengenai pembayaran sewa rumah, sewa tanah, tunjangan tahunan untuk nafkah, bunga abadi atau bunga cagak hidup, bunga uang pinjaman, dan segala sesuatu yang pada umumnya harus dibayar setiap tahun atau tiap periode yang lebih pendek, maka dengan adanya tiga tanda bukti pembayaran secara berturut-turut, timbul suatu persangkaan bahwa angsuran- angsuran yang lebih dahulu telah dibayar lunas, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. "

HAL HAL  YANG BERKAITAN DENGAN PEMBUKTIAN
A. DASAR HUKUM PEMBUKTIAN
Hukum pembuktian merupakan bagian dalam hukum acara perdata, yang diatur dalam:
  1. Pasal 162 - 177 HIR;
  2. Pasal 282 - 314 RBg;
  3. Pasal 1865 - 1945 BW;
  4. Staatsblad 1867 Nomor: 29.

  1. 1.    Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan hukum tidak mengaturnya atau kurang jelas (Pasal 16 ayat (1) UU No. 4/Th. 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman). Oleh karena itu hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 27 UU No. 14/Th. 1970).
  2. Apabila hakim menjumpai kesulitan di dalam praktik maka harus mencari pemecahan masalah dengan: a)    doctrin/ajaran, b)    yurisprudensi.

B. SISTEM PEMBUKTIAN
Dalam hukum acara perdata dianut sistem pembuktian positif, artinya:
a)    sistem pembuktian yang menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang;
b)    suatu gugatan dikabulkan hanya didasarkan pada alat-alat bukti yang sah. Alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang adalah penting. Keyakinan hakim sama sekali diabaikan.
c)    pada pokoknya suatu gugatan yang sudah memenuhi cara-cara pembuktian dengan alat bukti yang sah yakni sesuai dengan ketentuan undang undang, maka gugatan harus dikabulkan;
d)    hakim laksana robot yang menjalankan undang undang. Namun demikian ada kebaikan dalam sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan dalih-dalih dalam gugatan atau dalam jawaban atas gugatan tanpa dipengaruhi oleh nuraninya, sehingga benar-benar obyektif, yaitu menurut cara-cara dan alat bukti yang ditentukan oleh utrdang-undang;
e)    dalam sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formal,
1.     Dalam mencari kebenaran yuridis menurut van Kan tidaklah sama, Dalam hukum acara pidana yang dicari adalah kebenaran materiil, yang berarti bahwa di dalam mencari kebenaran hakim tidak terikat pada keterangan atau alat-alat bukti yang diajukan oleh jaksa atau terdakwa saja, bahkan hakim dilarang menerima kebenaran peristiwa berdasarkan pengakuan terdakwa semata-mata, karena tujuan hukum acara pidana bukanlah menyelesaikan sengketa,
2.     Oleh karena hukum acara pidana, lebih menyangkut hak-hak asasi terdakwa, maka persyaratannya lebih berat, sehingga hakim tidak terikat pada apa yang dikemukakan oleh jaksa atau terdakwa semata-mata.
Sedangkan dalam hukum acara perdata yang dicari adalah kebenaran formil, yang berarti bahwa hakim terikat pada peristiwa yang diakui oleh Tergugat atau apa yang tidak dipersengketakan, disini cukup dengan pembuktian yang tidak meyakinkan tetapi layak.
3.     Sistem pembuktian lainnya.
a)    Conviction ln Time
1.   ajaran pembuktian conviction in time adalah suatu ajaran pembuktian yang, menyandarkan pada keyakinan hakim.
2.   hakim di dalam menjatuhkan putusan tidak terikat dengan alat bukti yang ada. Darimana hakim menyimpulkan putusannya, tidak menjadi masalah. Ia  boleh menyimpulkan dari alat bukti yang ada di dalam persidangan atau mengabaikan alat bukti yang ada;
3.   akibatnya dalam memutuskan perkara menjadi subyektif sekali, hakim tidak perlu menyebutkan alasan_alasan yang menjadi dasar putusannya.
      b). Conviction ln Raisone
1.    ajaran pembuktian ini juga masih menyandarkan pola kepada keyakinan hakim. Hakim tetap tidak terikat pada alat-alat bukti yang telah ditetapkan dalam undang-undang;
2.    meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang, tetapi hakim, bisa mempergunakan alat-alat bukti di luar yang ditentukan oleh undang-undang;
3.    namun demikian di dalam mengambil keputusan haruslah didasarkan pada alasan-alasan yang jelas;
4.    jadi hakim harus mendasarkan putusannya berdasarkan alasan (reasoning). Oleh karena itu putusan tersebut juga berdasarkan alasan yang dapat diterima akal (Reasonable);
5.    keyakinan hakim haruslah didasari dengan alasan yang logis dan dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas;
6.    sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas (vrij bewijs).
c). Sistem Pembuktian Negatif
1.   sistem pembuktian negatif (negatief wettelijk) sangat mirip dengan sistem pembuktian conviction in raisone;
2.   hakim di dalam mengambil keputusan terikat oleh alat bukti yang ditentukan oleh undang undang dan keyakinan (nurani) hakim sendiri;\
3.   jadi di dalam sistem pembuktian negatif ada 2 (dua) hal yang merupakan syarat untuk membuktikan: 1. Wettelijk: Ada alat bukti yang sah yang telah ditentukan oleh undang undang. 2. Negatief : Adanya keyakinan (nurani) hakim yang didasarkan pada alat bukti tersebut.
4.   alat bukti yang telah ditentukan oleh undang undang tidak bisa ditambah dengan alat bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan di persidangan seperti yang ditentukan oleh undang-undang, belum bisa memaksa hakim menyatakan terbukti;
5.   sistem pembuktian inilah yang dianut oleh hukum acara pidana kita. (Pasal 183 KUHAP).

C. BEBAN PEMBUKTIAN
Di dalam persidangan yang harus membuktikan adalah para pihak yang bersengketa. Sedangkan hakim yang memerintahkan para pihak untuk mengajukan alat bukti untuk membenarkan dalih-dalihnya/peristiwa peristiwa yang dikemukakan. Hakim yang membebani para pihak dengan pembuktian (bewijslast, burden of
proof).
  • Sudikno Mertokusumo mengemukakan: Dalam proses perdata terdapat pembagian tugas yang tetap antara para pihak dan hakim. Para pihak yang harus mengemukakan peristiwanya, sedangkan soal hukum adalah urusan hakim.
·         Dalam proses pidana tidaklah demikian, di sini terdapat perpaduan antara penetapan peristiwa dan penemuan hukum. Jaksa tidak membuktikan. La mempunyai inisiatif penuntutan, dan dalam tuduhannya menentukan tema kemana proses harus diarahkan, tetapi ia selanjutnya ia sama kedudukannya dengan pembela dan hakim dalam diskusi di persidangan. Dalam hukum acara pidana lebih tepat dikatakan bahwa hakimlah yang membuktikan.
  • Asas umum pembagian pembuktian, terdapat dalam Pasal 163 HIR/283 RBg/1865 BW, yang merupakan pedoman umum bagi para hakim. Pasal tersebut berbunyi: "Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu".
  • Berpedoman pada ketentuan di atas, maka baik Penggugat atau Tergugat dapat dibebani pembuktian.
  • Dalam praktik, mengenai beban pembuktian sebagaimana di atur dalam ketentuan tersebut di atas, tidak dapat memberikan pemecahan dengan cara yang memuaskan, karena kedua belah pihak oleh pasal tersebut dapat ditunjuk untuk memikul beban pembuktian.
  • Di samping itu yang perlu diingat oleh hakim dalam pembuktian adalah bahwa seseorang tidak selalu dapat membuktikan kebenaran suatu peristiwa. Membuktikan tidak selalu mudah. Terutama membuktikan sesuatu yang bersifat negatif . Misalnya tidak menerima uang, tidak berhutang dan sebagainya. Segala sesuatu yang bersifat tidak, pada umumnya sukar atau ada kemungkinan tidak bisa dibuktikan.
Masalah beban pembuktian sangat penting adanya. Jika orang dapat membuktikan segala apa yang benar, dan tidak akan pernah berhasil membuktikan apa yang tidak benar, alangkah kecil artinya soal itu. Akan tetapi karena tidak selamanya dapat membuktikan apa yang benar dan orang sekali sekali dapat membuktikan apa yang tidak benar, maka pembagian beban pembuktian acap kali menentukan hasil perkara. Karena apabila hakim memerintahkan salah satu pihak membuktikan kebenaran dari apa yang dikemukakan, maka ia akan kalah dalam perkara (sekurang-kurangnya ia akan dirugikan dalam perkara), apabila ia tidak berhasil, atau tidak mencoba memberikan bukti yang diperintahkan kepadanya. Memang benar bahwa undang-undang kadang-kadang menentukan sendiri beban, tetapi hal demikian jarang terjadi. Sebagian besar tidak terdapat pengaturannya dalam undang-undang, sehingga masalah tersebut tetap menimbulkan kesulitan bagi hakim.
Lalu bagaimanakah sebaiknya?,  Dalam mencari pemecahan yang baik bagi persoalan itu haruslah diperhatikan bahwa penyelenggaraan proses di muka pengadilan hendaknya jangan sampai menimbulkan kerugian kepada kepentingan para pihak. Memberi beban bukti kepada salah satu pihak dalam proses dapat dianggap sedikit banyak (menabur) rugi pada pihak yang dibebani wajib bukti, karena dalam hal yang bersangkutan tidak berhasil dengan pembuktiannya ia akan dikalahkan (resiko pembuktian).
Berhubung dengan itu maka adalah adil jika beban pembuktian itu dipikulkan kepada pihak yang paling sedikit dirugikan. Resiko dalam pembuktian tidak boleh berat sebelah, hakim harus adil dan menentukan beban pembuktian itu dengan memperhatikan keadaan konkrit.
Contoh untuk memperjelas masalah beban pembuktian :
1. Penjual barang menagih pembayaran dari si pembeli, dengan dalih bahwa ia telah menjual dan melever suatu partai barang kepada pembeli dan bahwa pembeli tersebut belum atau tidak membayar harga barang tadi.
Jadi ada 3 hal yang dikemukakan oleh penjuat:
a)    Telah menjual;
b)    Telah melever;
c)    Pernbeli belum/tidak membayar.
Karena Pembeli menyangkal, maka berdasarkan Pasal 163 HIR/285 RBg/1865 BW, mungkin Penjual harus dibebani untuk membuktikan ketiga hal itu (a, b, dan c).
Mengenai a dan b memang benar, akan tetapi mengenai hal yang dikemukakan oleh Penjual mengenai c adalah sangat berat.
Tetapi hal tersebut yakni mengenai c akan sangat mudah apabila yang membuktikan adalah Pembeli, misalnya Penjual menunjukkan sebuah kwitansi pembayaran.
Oleh karena itu hakim harus membagi beban pembuktian sebagai berikut:
a)    Pembuktian dalih a dan b dibebankan pada Penjual;
b)    Pembuktian dalih c dibebankan pada pembeli.         
2. Demikian pula dalam hal gugatan mengenai  warisan yang  belum terbagi.
Penggugat hendaknya membuktikan bahwa ia ahli waris dari harta yang digugat adalah harta warisan.
Sedangkan mengenai belum pernah terbaginya harta warisan, bukan penggugat yang membuktikan, melainkan tergugatlah yang mengemukakan dalam bantahannya, bahwa telah pernah terjadi pembagian harta warisan, yang dibebani untuk membuktikan pernahnya itu.