Hukum Pidana disusun dan
dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan dalam masyarakat agar dapat
dipertahankan dari segala kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya
kedamaian dan ketertiban.
Dalam hal diberlakukannya
hukum pidana ini, dibatasi oleh hal hal
yang sangat penting, yaitu :
- Batas waktu (diatur dalam buku Pertama, Bab I Pasal 1 KUHP)
- Batas tempat dan orang (diatur dalam buku Pertama Bab I Pasal 2 – 9 KUHP)
A. BATAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU
Prinsip/asas legalitas telah diperjuangkan sejak abad
XVIII di Eropa Barat sebagai reaksi atas berlakunya hukum pidana zaman monarki absolut dengan menjalankan hukum
pidana secara sewenang-wenang, sekehendak dan menurut kebutuhan Raja sendiri.
Ahli hukum yang memperjuangkan dan memperkenalkan asas
legalitas ini yang terkenal adalah Montesquieu
(1689-1755) dengan teori Trias
Politica nya yang disempurnakan oleh Von
Feurbach (1755-1833). Trias Politica,
mempunyai pengertian yaitu
- Kekuasaan legislatif atau membuat perundang-undangan yang dipegang leh parlemen.
- Kekuasaan eksekutif yang menjalankan pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah
- Kekuasaan yudikatif atau kehakiman, yakni badan yang menjalankan hukum yang telah dibuat oleh parlemen. Badan kehakiman ini tidak bertugas menentukan tentang perbuatan apa yang dilarang dan diancam pidana, melainkan hanya semata-mata bertugas untuk memeriksa dan memutus apakah suatu perbuatan tertentu telah bertentangan dengan ketentuan undang-undang.
Dengan adanya ajaran Trias
Politica itu, untuk memidana seseorang atas perbuatan yang dilakukannya,
disyaratkan agar terlebih dulu harus ada ketentuan hukum yang menyatakan
perbuatan itu sebagai dilarang dan dapat dipidana (dibuat dulu aturan oleh
legislatif).
Anselm Von
Feuerbach (Belanda) melakukan upaya yang lebih
konkret dalam memperkenalkan asas
legalitas yang terkenal dengan ucapannya dalam bahasa latin (dalam bukunya
yang berjudul “Lehrbuch des peinlichen Recht”, 1801) yaitu “Nullum
delictum nulla poena sina praevia lege” yang artinya tidak ada pidana
tanpa adanya ketentuan hukum yang lebih dulu menentukan demikian. Ucapannya ini
secara jelas mengandung pengertian sebagaimana yang dimaksud dengan asas legalitas
Selanjutnya menurut Anselm
Von Feuerbach beliau mengajarkan bahwa untuk menjamin dan mempertahankan
ketertiban masyarkat, pidana harus berfungsi menakut-nakuti orang-orang agar
tidak berbuat jahat, dan agar orang takut berbuat jahat, terlebih dulu ia harus
mengetahui tentang ancaman pidana terhadap perbuatan jahat tersebut.
Agar orang mengetahui perihal ancaman pidana itu,
hal-hal yang dilarang beserta ancaman pidananya itu harus ditetapkan terlebih
dulu dalam UU.
Asas legalitas yang juga dikenal dengan asas “asas nulla poena” pertamakali
dimuat dalam pasal 8 “Declaration des droits de L’hommeet du Citoyen” (1789),
semacam Undang-Undang Dasar yang pertama dibentuk pada masa revolusi Prancis,
yang bunyinya “tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu
wet yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah
(Moeljatno, 1983 : 24). Kemudian asas ini dimuat dalam Pasal 4 Code Penal Prancis tahun 1810.
Ketika Belanda lepas dari pemerintahan Prancis tahun
1813, Code Penal ini tetap
diberlakukan di Belanda sampai digantinya WvS Nederland 1881.
Code Penal 1810 ini
berlaku 75 tahun di Belanda walaupun sifatnya sementara. Dalam WvS Nederland
(disusun tahun 1881 dan mulai berlaku tahun 1886) yang baru ini asas legalitas
dari Code Penal Prancis itu masuk didalamnya (Pasal 1 ayat 1).
Berdasarkan asas konkordansi WvS Nederland
diberlakukan di Hindia Belanda pada 1 Januari 1918 menjadi Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch Indie (yakni kini KUHP), dimana juga asas
legalitas ini tetap tercantum di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP Indonesia.
Pasal 1 ayat 1 KUHP merumuskan
“suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada terlebih dulu “Geen feit is
strafbaar dan uit kracht van eene daaraan vooragegane wettelike strafbepaling).
Asas ini dalam bahasa latinnya adalah Nullum delictum nulla poena sine
praevia legi poenali”.
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1
KUHP tersebut, ada tiga pengertian dasar dalam asas legalitas itu yaitu :
1) Ketentuan hukum pidana itu harus
ditetapkan lebih dahulu secara tertulis.
2) Dalam hal untuk menentukan suatu perbuatan
apakah berupa tindak pidana ataukah bukan tidak boleh menggunakan penafsiran
analogi.
3) Ketentuan hukum pidana tidak berlaku surut
(terugwerkend atau retroaktif).
Dari tiga pengertian dasar
diatas, tampak betul bahwa asas legalitas
ini berlatarbelakang pada kepastian hukum yang berkaitan
dengan perlindungan yang lebih konkret terhadap hak-hak warga yang berhadapan
dengan kekuasaan pemerintahan negara
Dengan asas legalitas terhindar dan dapat mencegah kesewenang-wenangan
penguasa dalam bidang peradilan pidana. Asas
legalitas adalah ajaran kepastian hukum. Dapat disimpulkan hukum pidana
harus tertulis, tidak boleh ada penafsiran analogi dan tidak boleh berlaku
surut.
1). Hukum pidana harus tertulis.
Peraturan perundangan haruslah
tertulis karena tertulis berarti harus ditetapkan terlebih dulu, baru kemudian
diberlakukan. Ketentuan pidana harus tertulis bukan saja dalam bentuk
undang-undang, tetapi juga tertulis dalam bentuk peraturan-peraturan lainnya
yang tingkatannya dibawah undang-undang. Jadi, sumber hukum pidana itu bukan
saja UU dalam arti formil tetapi juga dalam arti materil termasuk peraturan
pemerintah, peraturan daerah (kabupaten atau kota), peraturan menteri,
keputusan presiden dan lain sebagainya yang mengandung aspek hukum pidana.
Kelemahan :
Hukum pidana yang harus dibuat
tertulis mempunyai kelemahan yaitu hukum pidana kaku, tidak dapat dengan cepat
mengikuti perkembangan masyarakat dan lagi pula banyak perbuatan-perbuatan
dalam masyarakat yang patut dipidana seperti dalam hukum adat (pidana) yang
masih hidup namun tidak dapat dijalankan karena tidak ada bandingannya dalam
peraturan tertulis ini. Untuk peran hukum adat sebagaimana tertuang dalam Pasal
5 ayat 3b UU No. 1 (drt) 1951 sangatlah penting.
2) Larangan Menggunakan Penafsiran Analogi
Dalam Hukum Pidana
Salah satu pekerjaan hakim
adalah melakukan penafisran hukum, terutama terhadap norma tindak pidana dalam
hukum tertulis ketika norma tersebut diterapkan dalam suatu peristiwa konkret
tertentu. Norma-norma hukum pidana mengenai rumusan tindak pidana ketika
diterapkan pada kejadian atau peristiwa-peristiwa konkret tertentu tidak jarang
memerlukan penafsiran
Hal ini dapat terjadi pada
peristiwa tertentu yang tidak sama persis dengan apa yang dirumuskan dalam UU,
mengenai salah satu atau beberapa unsur tindak pidananya. Ada beberapa macam
penafsiran yang telah dikenal dalam doktrin hukum pidana yaitu penafisran autentik, penafsiran gramatikal, penafsiran logis, penafsiran sistematis, penafisran
historis, penafisran ekstensif, penafsiran a kontrario, penafsiran terbatas
dan penafisran analogis.
Dari sekian penafsiran diatas
penafsiran analogi oleh berbagai kalangan ahli hukum tidak boleh digunakan
dalam hukum pidana, mengingat pasal 1 (1) KUHP walaupun ada sebagian pakar
hukum membolehkan seperti Tavarne,
Pompe, Jonkers, di Indonesia Wirjono
Prodjodikoro.
Alasan mengapa analogi
dilarang dalam hukum pidana berpokok pangkal untuk menjamin kepastian hukum.
Dirasakan sebagai penyerangan dan pelanggaran atas kepastian berlakunya hukum
apabila analogi itu dipergunakan, sebagaimana dasar dibentuknya rumusan Pasal 1
(1) KUHP ialah pada latar belakang kepastian hukum dalam rangka melindungi
rakyat dari upaya kesewenang-wenangan penguasa melalui para hakim. Akan tetapi,
terlepas dari adanya kelemahan dari larangan menggunakan analogi, perluasan
berlakunya hukum yang demikian ini mempunyai manfaat dalam upaya mencapai
keadilan, dimana menurut masyarakat sesuatu perbuatan yang tidak secara tepat
dapat dipidana melalui aturan pidana tertentu, namun dengan menggunakan analogi
bagi pelaku perbuatan itu menjadi dapat dipidana.
Diakui bahwa analogi
mengurangi kepastian hukum dan dapat disalahgunakan oleh penguasa melalui para
hakimnya atau oleh hakim yang tidak bijaksana, namun begitu analogi amat
berguna dan dapat dipakai dalam hal untuk mengisi kekosongan dalam peraturan
perundang-undangan.
Analogi adalah penafsiran
terhadap suatu ketentuan hukum (pidana) dengan cara memperluas berlakunya
aturan hukum tersebut dengan mengabstraksikan rasio ketentuan itu sedemikian
rupa luasnya pada kejadian konkret tertentu sehingga kejadian yang sesungguhnya
tidak masuk ke dalam ketentuan itu menjadi masuk ke dalam isi atau pengertian
ketentuan hukum tersebut.
Dengan kata lain,
analogi itu terjadi apabila suatu peraturan hukum menyebut dengan tegas suatu
kejadian yang diatur, tetapi peraturan itu dipergunakan juga bagi
kejadian/peristiwa lain yang tidak termasuk dalam peraturan itu, ada banyak
persamaannya dengan kejadian yang disebut tadi.
Contoh kasus : misalnya dari
ketentuan pasal 365 (2) sub 1 yang antara lain melarang melakukan pencurian
dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan, berlaku juga pada pencurian
dalam sebuah bis yang sedang berjalan. Dalam hal ini bis dianalogikan dengan
kereta api atau trem sehingga orang yang mencuri dalam sebuah bis yang sedang
berjalan dapat pula diterapkan ketentuan hukum pidana menurut Pasal 365 (2) sub
1 ini. Mengapa bis dianalogikan dengan trem, rasio larangan mencuri didalam
trem yang sedang berjalan yang berlatar belakang pada larangan mencuri dalam
kenderaan angkutan yang sedang berjalan pada dasarnya sama dengan rasio
melarang mencuri dalam sebuah bis yang sedang berjalan karena kereta api, trem
dan bis adalah sama, angkutan umum yang berjalan.
Mengapa tidak disebut bis
dalam Pasal 365 ayat 2 sub 1 karena ketika KUHP (WvS Belanda 1881) dibentuk,
belum ada bis yang dipergunakan sebagai angkutan umum seperti keadaan sat ini.
Jadi apa salahnya dengan analogi melarang pula mencuri dalam sebuah bis yang
sedang berjalan.
Pengertian seperti ini sesuai
dengan pengertian dari perbuatan mengambil sebagai unsur tingkah laku pada
pencurian yaitu berupa benda-benda yang dapat diambil, artinya yang dapat
dipindahkan kekuasaannya dalam arti yang sebenarnya. Mengambil dalam arti
berbuat sesuatu dengan memindahkan kekuasaan atas sesuatu benda ke dalam
kekuasaannya/ ke tangannya menurut akal pikiran orang pada umumnya hanyalah
dapat dilakukan pada benda-benda berwujud dan bergerak saja. Aliran/energi dari
sudut pandang demikian bukanlah benda. Akan tetapi, untuk menjangkau keadilan, Hoge Raad telah menggunakan analogi
dengan memberi arti baru tentang benda, yakni berupa sesuatu bagian dari
kekayaan manusia. Dengan dasar pengertian semacam itu, energi listrik dapat pula merupakan benda yang menjadi objek pencurian.
Energi listrik adalah bagian kekayaan, karena mempunyai nilai ekonomis.
Pemakaian energi itu harus membayar kepada perusahaan si pemilik energi. Dengan
alasan seperti itu, maka dapat dimengerti bahwa kemudian pada sebagian ahli
hukum memberi arti baru bahwa benda merupakan sesuatu yang bernilai ekonomis
dan mempunyai nilai bagi manusia. Contoh lain : dalam sejarah praktik hukum,
dengan menerapkan analogi yang terkenal dan banyak dimuat dalam berbagai literatur
hukum, dalam arrest HR tanggal 23 Mei
1921 yang meganalogikan
aliran/tenaga listrik itu dengan pengertian benda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 362 KUHP (pencurian). Pengertian benda dalam kejahatan ini menurut
keterangan dalam MvT mengenai pembentukan Pasal 310 WvS Belanda (362 KUHP kita)
terbatas pada benda-benda bergerak (roerent goed) dan benda-benda berwujud (Stoffelijk goed).
3) Hukum pidana tidak berlaku surut
Pernyataan hukum pidana tidak
berlaku surut, tepai berlaku ke depan dapat disimpulkan dari kalimat yang
menyatakan “…..ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”
(Pasal 1 ayat 1 KUHP). Yang artinya adalah ketika perbuatan itu dilakukan telah
berlaku aturan hukum pidana yang melarang melakukan perbuatan tersebut. Disini
perlu ada kepastian hukum (rechtszekerheid).
Pernyataan hukum pidana tidak
berlaku surut, tetapi berlaku ke depan dapat disimpulkan dari kalimatnya yang
menyatakan “…..ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada” (Pasal 1
ayat 1 KUHP). Yang artinya adalah ketika perbuatan itu dilakukan telah berlaku
aturan hukum pidana yang melarang melakukan perbuatan tersebut. Disini perlu
ada kepastian hukum (rechtszekerheid).
Selanjutnya pada Pasal 1 ayat
2 KUHP berbunyi “bilamana ada perubahan dalam peraturan perundang undangan
sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang
paling menguntungkan”. (Disini mengandung keadilan)
Pasal 1 ayat 2 KUHP ini (asas retroaktif) adalah pengecualian
pasal 1 ayat 1 KUHP (asas legalitas).
Disini terjadi hukum boleh diberlakukan surut (hukum diberlakukan kebelakang)
Ada 3 syarat diberlakukannya
hukum berlaku ke belakang/surut menurut pasal 1 ayat 2 KUHP yaitu :
1)
Harus
ada perubahan perundang-undangan mengenai suatu perbuatan,
2)
Perubahan
tersebut terjadi setelah perbuatan dilakukan, dan
3)
Dimana
peraturan yang baru itu lebih menguntungkan atau meringankan bagi pelaku
perbuatan itu.
B. BATAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT
TEMPAT DAN ORANG.
Batas diberlakukannya hukum
pidana menurut tempat diatur dalam pasal 2,3,4,8,9 KUHP sedangkan batas
berlakunya hukum pidana menurut orang atau subjeknya diatur dalam pasal 5,6,7
KUHP.
Mengenai berlakunya hukum
pidana menurut tempat dan orang dikenal ada 4 asas yaitu :
- Asas teritorialiteit (territorialiteits-beginsel) atau asas wilayah negara
- Asas personaliteit (personaliteits beginsel) disebut juga dengan asas kebangsaan, asas nationalitet aktif atau asas subjektif (subjektions prinsip)
- Asas perlindungan (bescbermings beginsel) atau disebut juga asas nasional pasif
- Asas universaliteit (universaliteits beginsel) atau asas persamaan
Ad.a. Asas teritorialiteit :
Adalah asas yang memberlakukan KUHP bagi semua orang
yang melakukan pidana di dalam lingkungan wilayah Indonesia. Asas ini dapat dilihat
dari ketentuan Pasal 2 dan 3 KUHP. Tetapi KUHP tidak berlaku bagi mereka yang
memiliki hak kebebasan diplomatik berdasarkan asas ”ekstrateritorial”.
Asas teritorial ini diatur dalam pasal 2 yang berbunyi
“aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
berlaku terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah Indonesia”
Disini siapapun yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia dapat dipidana sesuai hukum pidana
yang berlaku di Indonesia
baik didarat, laut maupun udara.
Wilayah laut 12 mil pulau terluar, kalau kurang dari 12
mil, maka di pakai garis tengah selat (selat malaka) = UU No 4/Prp/1960 Pasal 1
ayat 2.
Ad. b. Asas Personaliteit.
Adalah asas yang memberlakukan KUHP terhadap
orang-orang Indonesia yang
melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Republik Indonesia. Asas ini bertitik tolak
pada orang yang melakukan perbuatan pidana. Asas ini dinamakan juga asas personalitet. Asas ini terdapat
dalam Pasal 5, 6, 7 dan 8 KUHP
Pasal 5 KUHP
(1) : Ketentuan pidana
dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi warganegara Indonesia yang melakukan diluar Indonesia
:
1 e.salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II Buku
Kedua, dan dalam Pasal Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451;
2 e.suatu perbuatan yang dipandang sebagai kejahatan menurut
ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia dan boleh dihukum menurut
undang-undang negeri tempat perbuatan itu dilakukan.
(2) : Penuntutan terhadap suatu perbuatan yang dimaksudkan pada
ke 2e boleh juga dilakukan, jika
tersangka baru menjadi warganegara Indonesia setelah melakukan
perbuatan itu
Pasal 5 ayat 1 berbunyi “Ketentuan pidana
dalam Peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku terhadap warga negara yang
diluar Indonesia melakukan
- Salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451 KUHP
- Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan pidana Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana
Pasal 5 ayat 2 berbunyi
“Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga
jika terdakwa menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.
Bab I berkaitan dengan
kejahatan terhadap keamanan negara (104-129) dan Bab II adalah mengenai kejahatan
terhadap martabat presiden dan wakil presiden (130-139).
Pasal 5 ayat 1 ke-1 KUHP hanya
berlaku berkaitan dengan tindak pidana yang terjadi kepada setiap warga negara
RI yang melakukan diluar Indonesia sebagaimana diancam dalam pasal-pasal
tersebut.
Sedangkan pasal 5 ayat 1 ke-2
hanya berlaku berkaitan dengan tindak pidana setiap warga negara RI yang
melakukan diluar Indonesia namun tindak pidana tersebut harus berupa kejahatan
bukan pelanggaran dan perbuatan tindak pidana tersebut oleh negara dimana
perbuatan tersebut dilakukan juga merupakan perbuatan pidana yang dapat
diancam.
Sedangkan ayat 2 Pasal 5
berkaitan dengan apabila ada orang asing melakukan tindak pidana diluar negeri
setelah itu ia masuk warga negara Indonesia. Maka dapat juga dituntut menurut
ayat 2 ini.
Pasal 6 KUHP.
Berlakunya pasal 5 (1) angka
2e itu dibatasi hingga tidak boleh dijatuhkan hukuman mati untuk perbuatan yang
tiada diancam dengan hukuman mati menurut undang-undang negeri tempat perbuatan
itu dilakukan
Selanjutnya dalam pasal 7
berbunyi “ketentuan pidana dalam perUUan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat
Indonesia yang diluar Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana
dimaksudkan dalam bab XXVIII buku kedua.
Pasal 7 ini menerangkan khusus
warga negara sebagai pejabat Indonesia (PNS) yang melakukan perbuatan yang
diancam salah satu bab XXVIII. Artinya pasal ini tidak berlaku warga negara
yang bukan pejabat.
Selanjutnya dalam pasal 8 KUHP
berbunyi “ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
nakhoda dan penumpang kenderaan air Indonesia, yang diluar Indonesia, sekalipun
diluar kenderaan air, melakukan salah satu tindak pidana sbgmana dimaksudkan
dalam bab XXIX buku kedua, dan bab IX buku ketiga, begitu pula yang tersebut
dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal Indonesia maupun dalam
ordonansi perkapalan (schepnordonantie,
1927). Bab XXIX buku kedua membahas tentang kejahatan-kejahatan pelayaran
(Pasal 438-479) sedangkan bab IX buku ketiga ttg pelanggaran mengenai pelayaran
(pasal 560-569)
Ad.c. Asas Perlindungan atau Asas nasional
Pasif
Adalah suatu asas yang
memberlakukan KUHP terhadap siapapun juga baik WNI maupun WNA yang melakukan
perbuatan pidana di luar wilayah Indonesia. Jadi yang diutamakan adalah
keselamatan kepentingan suatu negara. Asas ini bertumpu pada kepentingan bangsa
dan negara bukan kepentingan pribadi/individu diatur dalam pasal 4 KUHP
Pasal 4 KUHP
Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia diterapkan terhadap setiap orang yang melakukan di luar Indonesia
yaitu salah satu kejahatan berdasarkan pasal 104, 106, 107, 108, 110 bis ke 1,
127 dan 131, Juga kejahatan mata uang kertas, materai, merek yang dikeluarkan
pemerintah Indonesia, dll.
Ad.d. Asas Universaliteit
Asas ini berlaku untuk kepentingan penduduk dunia atau
bangsa dunia. Jadi bukan sekedar kepentingan bangsa Indonesia Diatur dalam
pasal 4 ayat 2,3,4 KUHP, misalnya pasal 4 ayat 4 berkaiatan dengaan pembajakan
di laut bebas (446) dan pembajakan udara (479) dan penerbangan sipil, pemalsuan
uang negara lain yang bukan uang negara Indonesia
Asas universaliteit adalah suatu asas yang memberlakukan
KUHP terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Indonesia yang bertujuan untuk
merugikan kepentingan internasional. Peristiwa pidana yang terjadi dapat berada
di daerah yang tidak termasuk kedaulatan negara manapun. Jadi yang diutamakan
oleh asas tersebut adalah keselamatan internasional.