Kamis, 29 Januari 2015

RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA


Hukum Pidana disusun dan dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan dalam masyarakat agar dapat dipertahankan dari segala kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya kedamaian dan ketertiban.
Dalam hal diberlakukannya hukum pidana ini, dibatasi oleh hal  hal yang sangat penting,   yaitu :
  1. Batas waktu (diatur dalam buku Pertama, Bab I  Pasal 1 KUHP)
  2. Batas tempat dan orang (diatur dalam buku Pertama Bab I Pasal 2 – 9 KUHP)

A. BATAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU
Prinsip/asas legalitas telah diperjuangkan sejak abad XVIII di Eropa Barat sebagai reaksi atas berlakunya hukum pidana zaman monarki absolut dengan menjalankan hukum pidana secara sewenang-wenang, sekehendak dan menurut kebutuhan Raja sendiri.
Ahli hukum yang memperjuangkan dan memperkenalkan asas legalitas ini yang terkenal adalah Montesquieu (1689-1755) dengan teori Trias Politica nya yang disempurnakan oleh Von Feurbach (1755-1833). Trias Politica, mempunyai  pengertian yaitu
  1. Kekuasaan legislatif atau membuat perundang-undangan yang dipegang leh parlemen.
  2. Kekuasaan eksekutif yang menjalankan pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah
  3. Kekuasaan yudikatif atau kehakiman, yakni badan yang menjalankan hukum yang telah dibuat oleh parlemen. Badan kehakiman ini tidak bertugas menentukan tentang perbuatan apa yang dilarang dan diancam pidana, melainkan hanya semata-mata bertugas untuk memeriksa dan memutus apakah suatu perbuatan tertentu telah bertentangan dengan ketentuan undang-undang.
Dengan adanya ajaran Trias Politica itu, untuk memidana seseorang atas perbuatan yang dilakukannya, disyaratkan agar terlebih dulu harus ada ketentuan hukum yang menyatakan perbuatan itu sebagai dilarang dan dapat dipidana (dibuat dulu aturan oleh legislatif).
Anselm Von Feuerbach (Belanda) melakukan upaya yang lebih konkret dalam memperkenalkan asas legalitas yang terkenal dengan ucapannya dalam bahasa latin (dalam bukunya yang berjudul “Lehrbuch des peinlichen Recht”, 1801) yaitu “Nullum delictum nulla poena sina praevia lege” yang artinya tidak ada pidana tanpa adanya ketentuan hukum yang lebih dulu menentukan demikian. Ucapannya ini secara jelas mengandung pengertian sebagaimana yang dimaksud dengan asas legalitas
Selanjutnya menurut Anselm Von Feuerbach beliau mengajarkan bahwa untuk menjamin dan mempertahankan ketertiban masyarkat, pidana harus berfungsi menakut-nakuti orang-orang agar tidak berbuat jahat, dan agar orang takut berbuat jahat, terlebih dulu ia harus mengetahui tentang ancaman pidana terhadap perbuatan jahat tersebut.
Agar orang mengetahui perihal ancaman pidana itu, hal-hal yang dilarang beserta ancaman pidananya itu harus ditetapkan terlebih dulu dalam UU.
Asas legalitas yang juga dikenal dengan asas “asas nulla poena” pertamakali dimuat dalam pasal 8 “Declaration des droits de L’hommeet du Citoyen” (1789), semacam Undang-Undang Dasar yang pertama dibentuk pada masa revolusi Prancis, yang bunyinya “tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah (Moeljatno, 1983 : 24). Kemudian asas ini dimuat dalam Pasal 4 Code Penal Prancis tahun 1810.
Ketika Belanda lepas dari pemerintahan Prancis tahun 1813, Code Penal ini tetap diberlakukan di Belanda sampai digantinya WvS Nederland 1881.
Code Penal 1810 ini berlaku 75 tahun di Belanda walaupun sifatnya sementara. Dalam WvS Nederland (disusun tahun 1881 dan mulai berlaku tahun 1886) yang baru ini asas legalitas dari Code Penal Prancis itu masuk didalamnya (Pasal 1 ayat 1).
Berdasarkan asas konkordansi WvS Nederland diberlakukan di Hindia Belanda pada 1 Januari 1918 menjadi Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (yakni kini KUHP), dimana juga asas legalitas ini tetap tercantum di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP Indonesia.
Pasal 1 ayat 1 KUHP merumuskan “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada terlebih dulu “Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan vooragegane wettelike strafbepaling). Asas ini dalam bahasa latinnya adalah Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”.
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut, ada tiga pengertian dasar dalam asas legalitas itu yaitu :
1)      Ketentuan hukum pidana itu harus ditetapkan lebih dahulu secara tertulis.
2)      Dalam hal untuk menentukan suatu perbuatan apakah berupa tindak pidana ataukah bukan tidak boleh menggunakan penafsiran analogi.
3)      Ketentuan hukum pidana tidak berlaku surut (terugwerkend atau retroaktif).
Dari tiga pengertian dasar diatas, tampak betul bahwa asas legalitas ini berlatarbelakang pada kepastian hukum yang berkaitan dengan perlindungan yang lebih konkret terhadap hak-hak warga yang berhadapan dengan kekuasaan pemerintahan negara
Dengan asas legalitas terhindar dan dapat mencegah kesewenang-wenangan penguasa dalam bidang peradilan pidana. Asas legalitas adalah ajaran kepastian hukum. Dapat disimpulkan hukum pidana harus tertulis, tidak boleh ada penafsiran analogi dan tidak boleh berlaku surut.
1). Hukum pidana harus tertulis.
Peraturan perundangan haruslah tertulis karena tertulis berarti harus ditetapkan terlebih dulu, baru kemudian diberlakukan. Ketentuan pidana harus tertulis bukan saja dalam bentuk undang-undang, tetapi juga tertulis dalam bentuk peraturan-peraturan lainnya yang tingkatannya dibawah undang-undang. Jadi, sumber hukum pidana itu bukan saja UU dalam arti formil tetapi juga dalam arti materil termasuk peraturan pemerintah, peraturan daerah (kabupaten atau kota), peraturan menteri, keputusan presiden dan lain sebagainya yang mengandung aspek hukum pidana.
Kelemahan :
Hukum pidana yang harus dibuat tertulis mempunyai kelemahan yaitu hukum pidana kaku, tidak dapat dengan cepat mengikuti perkembangan masyarakat dan lagi pula banyak perbuatan-perbuatan dalam masyarakat yang patut dipidana seperti dalam hukum adat (pidana) yang masih hidup namun tidak dapat dijalankan karena tidak ada bandingannya dalam peraturan tertulis ini. Untuk peran hukum adat sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 ayat 3b UU No. 1 (drt) 1951 sangatlah penting.
2) Larangan Menggunakan Penafsiran Analogi Dalam Hukum Pidana
Salah satu pekerjaan hakim adalah melakukan penafisran hukum, terutama terhadap norma tindak pidana dalam hukum tertulis ketika norma tersebut diterapkan dalam suatu peristiwa konkret tertentu. Norma-norma hukum pidana mengenai rumusan tindak pidana ketika diterapkan pada kejadian atau peristiwa-peristiwa konkret tertentu tidak jarang memerlukan penafsiran
Hal ini dapat terjadi pada peristiwa tertentu yang tidak sama persis dengan apa yang dirumuskan dalam UU, mengenai salah satu atau beberapa unsur tindak pidananya. Ada beberapa macam penafsiran yang telah dikenal dalam doktrin hukum pidana yaitu penafisran autentik, penafsiran gramatikal, penafsiran logis, penafsiran sistematis, penafisran historis, penafisran ekstensif, penafsiran a kontrario, penafsiran terbatas dan penafisran analogis.
Dari sekian penafsiran diatas penafsiran analogi oleh berbagai kalangan ahli hukum tidak boleh digunakan dalam hukum pidana, mengingat pasal 1 (1) KUHP walaupun ada sebagian pakar hukum membolehkan seperti Tavarne, Pompe, Jonkers, di Indonesia Wirjono Prodjodikoro.
Alasan mengapa analogi dilarang dalam hukum pidana berpokok pangkal untuk menjamin kepastian hukum. Dirasakan sebagai penyerangan dan pelanggaran atas kepastian berlakunya hukum apabila analogi itu dipergunakan, sebagaimana dasar dibentuknya rumusan Pasal 1 (1) KUHP ialah pada latar belakang kepastian hukum dalam rangka melindungi rakyat dari upaya kesewenang-wenangan penguasa melalui para hakim. Akan tetapi, terlepas dari adanya kelemahan dari larangan menggunakan analogi, perluasan berlakunya hukum yang demikian ini mempunyai manfaat dalam upaya mencapai keadilan, dimana menurut masyarakat sesuatu perbuatan yang tidak secara tepat dapat dipidana melalui aturan pidana tertentu, namun dengan menggunakan analogi bagi pelaku perbuatan itu menjadi dapat dipidana.
Diakui bahwa analogi mengurangi kepastian hukum dan dapat disalahgunakan oleh penguasa melalui para hakimnya atau oleh hakim yang tidak bijaksana, namun begitu analogi amat berguna dan dapat dipakai dalam hal untuk mengisi kekosongan dalam peraturan perundang-undangan.
Analogi adalah penafsiran terhadap suatu ketentuan hukum (pidana) dengan cara memperluas berlakunya aturan hukum tersebut dengan mengabstraksikan rasio ketentuan itu sedemikian rupa luasnya pada kejadian konkret tertentu sehingga kejadian yang sesungguhnya tidak masuk ke dalam ketentuan itu menjadi masuk ke dalam isi atau pengertian ketentuan hukum tersebut.
Dengan kata lain,  analogi itu terjadi apabila suatu peraturan hukum menyebut dengan tegas suatu kejadian yang diatur, tetapi peraturan itu dipergunakan juga bagi kejadian/peristiwa lain yang tidak termasuk dalam peraturan itu, ada banyak persamaannya dengan kejadian yang disebut tadi.
Contoh kasus : misalnya dari ketentuan pasal 365 (2) sub 1 yang antara lain melarang melakukan pencurian dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan, berlaku juga pada pencurian dalam sebuah bis yang sedang berjalan. Dalam hal ini bis dianalogikan dengan kereta api atau trem sehingga orang yang mencuri dalam sebuah bis yang sedang berjalan dapat pula diterapkan ketentuan hukum pidana menurut Pasal 365 (2) sub 1 ini. Mengapa bis dianalogikan dengan trem, rasio larangan mencuri didalam trem yang sedang berjalan yang berlatar belakang pada larangan mencuri dalam kenderaan angkutan yang sedang berjalan pada dasarnya sama dengan rasio melarang mencuri dalam sebuah bis yang sedang berjalan karena kereta api, trem dan bis adalah sama, angkutan umum yang berjalan.
Mengapa tidak disebut bis dalam Pasal 365 ayat 2 sub 1 karena ketika KUHP (WvS Belanda 1881) dibentuk, belum ada bis yang dipergunakan sebagai angkutan umum seperti keadaan sat ini. Jadi apa salahnya dengan analogi melarang pula mencuri dalam sebuah bis yang sedang berjalan.
Pengertian seperti ini sesuai dengan pengertian dari perbuatan mengambil sebagai unsur tingkah laku pada pencurian yaitu berupa benda-benda yang dapat diambil, artinya yang dapat dipindahkan kekuasaannya dalam arti yang sebenarnya. Mengambil dalam arti berbuat sesuatu dengan memindahkan kekuasaan atas sesuatu benda ke dalam kekuasaannya/ ke tangannya menurut akal pikiran orang pada umumnya hanyalah dapat dilakukan pada benda-benda berwujud dan bergerak saja. Aliran/energi dari sudut pandang demikian bukanlah benda. Akan tetapi, untuk menjangkau keadilan, Hoge Raad telah menggunakan analogi dengan memberi arti baru tentang benda, yakni berupa sesuatu bagian dari kekayaan manusia. Dengan dasar pengertian semacam itu, energi listrik dapat pula merupakan benda yang menjadi objek pencurian. Energi listrik adalah bagian kekayaan, karena mempunyai nilai ekonomis. Pemakaian energi itu harus membayar kepada perusahaan si pemilik energi. Dengan alasan seperti itu, maka dapat dimengerti bahwa kemudian pada sebagian ahli hukum memberi arti baru bahwa benda merupakan sesuatu yang bernilai ekonomis dan mempunyai nilai bagi manusia. Contoh lain : dalam sejarah praktik hukum, dengan menerapkan analogi yang terkenal dan banyak dimuat dalam berbagai literatur hukum, dalam arrest HR tanggal 23 Mei 1921  yang meganalogikan aliran/tenaga listrik itu dengan pengertian benda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362 KUHP (pencurian). Pengertian benda dalam kejahatan ini menurut keterangan dalam MvT mengenai pembentukan Pasal 310 WvS Belanda (362 KUHP kita) terbatas pada benda-benda bergerak (roerent goed) dan benda-benda berwujud (Stoffelijk goed).
3) Hukum pidana tidak berlaku surut
Pernyataan hukum pidana tidak berlaku surut, tepai berlaku ke depan dapat disimpulkan dari kalimat yang menyatakan “…..ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada” (Pasal 1 ayat 1 KUHP). Yang artinya adalah ketika perbuatan itu dilakukan telah berlaku aturan hukum pidana yang melarang melakukan perbuatan tersebut. Disini perlu ada kepastian hukum (rechtszekerheid).
Pernyataan hukum pidana tidak berlaku surut, tetapi berlaku ke depan dapat disimpulkan dari kalimatnya yang menyatakan “…..ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada” (Pasal 1 ayat 1 KUHP). Yang artinya adalah ketika perbuatan itu dilakukan telah berlaku aturan hukum pidana yang melarang melakukan perbuatan tersebut. Disini perlu ada kepastian hukum (rechtszekerheid).
Selanjutnya pada Pasal 1 ayat 2 KUHP berbunyi “bilamana ada perubahan dalam peraturan perundang undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan”. (Disini mengandung keadilan)
Pasal 1 ayat 2 KUHP ini (asas retroaktif) adalah pengecualian pasal 1 ayat 1 KUHP (asas legalitas). Disini terjadi hukum boleh diberlakukan surut (hukum diberlakukan kebelakang)
Ada 3 syarat diberlakukannya hukum berlaku ke belakang/surut menurut pasal 1 ayat 2 KUHP yaitu :
1)         Harus ada perubahan perundang-undangan mengenai suatu perbuatan,
2)         Perubahan tersebut terjadi setelah perbuatan dilakukan, dan
3)         Dimana peraturan yang baru itu lebih menguntungkan atau meringankan bagi pelaku perbuatan itu.

B. BATAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT DAN  ORANG.
Batas diberlakukannya hukum pidana menurut tempat diatur dalam pasal 2,3,4,8,9 KUHP sedangkan batas berlakunya hukum pidana menurut orang atau subjeknya diatur dalam pasal 5,6,7 KUHP.
Mengenai berlakunya hukum pidana menurut tempat dan orang dikenal ada 4 asas yaitu :
  1. Asas teritorialiteit (territorialiteits-beginsel) atau asas wilayah negara
  2. Asas personaliteit (personaliteits beginsel) disebut juga dengan asas kebangsaan, asas nationalitet aktif atau asas subjektif (subjektions prinsip)
  3. Asas perlindungan (bescbermings beginsel) atau disebut juga asas nasional pasif
  4. Asas universaliteit (universaliteits beginsel) atau asas persamaan
Ad.a. Asas teritorialiteit :
Adalah asas yang memberlakukan KUHP bagi semua orang yang melakukan pidana di dalam lingkungan wilayah Indonesia. Asas ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 dan 3 KUHP. Tetapi KUHP tidak berlaku bagi mereka yang memiliki hak kebebasan diplomatik berdasarkan asas ”ekstrateritorial”.
Asas teritorial ini diatur dalam pasal 2 yang berbunyi “aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah Indonesia”
Disini siapapun yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia dapat dipidana sesuai hukum pidana yang berlaku di Indonesia baik didarat, laut maupun udara.
Wilayah laut 12 mil pulau terluar, kalau kurang dari 12 mil, maka di pakai garis tengah selat (selat malaka) = UU No 4/Prp/1960 Pasal 1 ayat 2.

Ad. b. Asas Personaliteit.
Adalah asas yang memberlakukan KUHP terhadap orang-orang Indonesia yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Republik Indonesia. Asas ini bertitik tolak pada orang yang melakukan perbuatan pidana. Asas ini dinamakan juga asas personalitet. Asas ini terdapat dalam Pasal 5, 6, 7 dan 8 KUHP
Pasal 5 KUHP
(1) :      Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia  berlaku bagi warganegara Indonesia yang melakukan diluar Indonesia :
1 e.salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua, dan dalam Pasal Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451;
2 e.suatu perbuatan yang dipandang sebagai kejahatan menurut ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia dan boleh dihukum menurut undang-undang negeri tempat perbuatan itu dilakukan.
(2) : Penuntutan terhadap suatu perbuatan yang dimaksudkan pada ke   2e boleh juga dilakukan, jika tersangka baru menjadi warganegara Indonesia setelah melakukan perbuatan itu
Pasal 5 ayat 1 berbunyi “Ketentuan pidana dalam Peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku terhadap warga negara yang diluar Indonesia melakukan
  1. Salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451 KUHP
  2. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan pidana Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana
Pasal 5 ayat 2 berbunyi “Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.
Bab I berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara (104-129) dan Bab II adalah mengenai kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden (130-139).
Pasal 5 ayat 1 ke-1 KUHP hanya berlaku berkaitan dengan tindak pidana yang terjadi kepada setiap warga negara RI yang melakukan diluar Indonesia sebagaimana diancam dalam pasal-pasal tersebut.
Sedangkan pasal 5 ayat 1 ke-2 hanya berlaku berkaitan dengan tindak pidana setiap warga negara RI yang melakukan diluar Indonesia namun tindak pidana tersebut harus berupa kejahatan bukan pelanggaran dan perbuatan tindak pidana tersebut oleh negara dimana perbuatan tersebut dilakukan juga merupakan perbuatan pidana yang dapat diancam.
Sedangkan ayat 2 Pasal 5 berkaitan dengan apabila ada orang asing melakukan tindak pidana diluar negeri setelah itu ia masuk warga negara Indonesia. Maka dapat juga dituntut menurut ayat 2 ini.
Pasal 6 KUHP.
Berlakunya pasal 5 (1) angka 2e itu dibatasi hingga tidak boleh dijatuhkan hukuman mati untuk perbuatan yang tiada diancam dengan hukuman mati menurut undang-undang negeri tempat perbuatan itu dilakukan
Selanjutnya dalam pasal 7 berbunyi “ketentuan pidana dalam perUUan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat Indonesia yang diluar Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam bab XXVIII buku kedua.
Pasal 7 ini menerangkan khusus warga negara sebagai pejabat Indonesia (PNS) yang melakukan perbuatan yang diancam salah satu bab XXVIII. Artinya pasal ini tidak berlaku warga negara yang bukan pejabat.
Selanjutnya dalam pasal 8 KUHP berbunyi “ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nakhoda dan penumpang kenderaan air Indonesia, yang diluar Indonesia, sekalipun diluar kenderaan air, melakukan salah satu tindak pidana sbgmana dimaksudkan dalam bab XXIX buku kedua, dan bab IX buku ketiga, begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal Indonesia maupun dalam ordonansi perkapalan (schepnordonantie, 1927). Bab XXIX buku kedua membahas tentang kejahatan-kejahatan pelayaran (Pasal 438-479) sedangkan bab IX buku ketiga ttg pelanggaran mengenai pelayaran (pasal 560-569)

Ad.c. Asas Perlindungan atau Asas nasional Pasif
Adalah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap siapapun juga baik WNI maupun WNA yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Indonesia. Jadi yang diutamakan adalah keselamatan kepentingan suatu negara. Asas ini bertumpu pada kepentingan bangsa dan negara bukan kepentingan pribadi/individu diatur dalam pasal 4 KUHP
Pasal 4 KUHP
Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia diterapkan terhadap setiap orang yang melakukan di luar Indonesia yaitu salah satu kejahatan berdasarkan pasal 104, 106, 107, 108, 110 bis ke 1, 127 dan 131, Juga kejahatan mata uang kertas, materai, merek yang dikeluarkan pemerintah Indonesia, dll.

Ad.d. Asas Universaliteit
Asas ini berlaku untuk kepentingan penduduk dunia atau bangsa dunia. Jadi bukan sekedar kepentingan bangsa Indonesia Diatur dalam pasal 4 ayat 2,3,4 KUHP, misalnya pasal 4 ayat 4 berkaiatan dengaan pembajakan di laut bebas (446) dan pembajakan udara (479) dan penerbangan sipil, pemalsuan uang negara lain yang bukan uang negara Indonesia
Asas universaliteit adalah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Indonesia yang bertujuan untuk merugikan kepentingan internasional. Peristiwa pidana yang terjadi dapat berada di daerah yang tidak termasuk kedaulatan negara manapun. Jadi yang diutamakan oleh asas tersebut adalah keselamatan internasional.


Perlindungan Data Pribadi



PERLINDUNGAN DATA PRIBADI

Saat ini, Indonesia belum memiliki kebijakan atau regulasi mengenai perlindungan data pribadi dalam satu peraturan khusus. Pengaturan mengenai hal tersebut masih termuat terpisah di beberapa peraturan perundang-undangan dan hanya mencerminkan aspek perlindungan data pribadi secara umum.  
Mengenai data pribadi yang berkaitan langsung dengan data elektronik. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) merupakan referensi utama untuk menjawab masalah perlindungan informasi/data pribadi di internet.

A.   Perlindungan Data Pribadi Pengguna Internet
UU ITE memang belum memuat aturan perlindungan data pribadi secara khusus. Tetapi, secara implisit UU ini mengatur pemahaman baru mengenai perlindungan terhadap keberadaan suatu data atau informasi elektronik baik yang bersifat umum maupun pribadi.
Sedangkan, hal yang berkaitan dengan penjabaran tentang data elektronik pribadi, UU ITE mengamanatkannya lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE”).
Perlindungan data pribadi dalam sebuah sistem elektronik dalam UU ITE meliputi perlindungan dari penggunaan tanpa izin, perlindungan oleh penyelenggara sistem elektronik, dan perlindungan dari akses dan interferensi ilegal.
Terkait perlindungan data pribadi dari penggunaan tanpa izin, Pasal 26 UU ITE mensyaratkan bahwa penggunaan setiap data pribadi dalam sebuah media elektronik harus mendapat persetujuan pemilik data bersangkutan. Setiap orang yang melanggar ketentuan ini dapat digugat atas kerugian yang ditimbulkan.
Bunyi Pasal 26 UU ITE adalah sebagai berikut:
1)    Penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.
2)    Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini
Dalam penjelasannya, Pasal 26 UU ITE menyatakan bahwa data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi seseorang. Sedangkan, definisi data pribadi dapat dilihat dalam Pasal 1 PP PSTE yaitu data perorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaan.
Cracking dimaknai sebagai peretasan dengan cara merusak sebuah sistem elektronik. Akibat cracking selain merusak, dapat juga berupa hilang, berubah, atau dibajaknya data pribadi maupun account pribadi seseorang untuk kemudian digunakan tanpa persetujuan pemilik data pribadi.
Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam UU ITE tidak hanya tentang pernyataan “yes” atau “no” dalam perintah (command) “single click” maupun “double click”, melainkan harus juga didasari atas kesadaran seseorang dalam memberikan persetujuan terhadap penggunaan atau pemanfaatan data pribadi sesuai dengan tujuan atau kepentingan yang disampaikan pada saat perolehan data. Dengan demikian, penggunaan data pribadi oleh crakcer dalam konteks perdata merupakan bentuk pelanggaran Pasal 26 ayat (1) UU ITE.
Definisi data pribadi sebagaimana pasal 26 UU ITE belum cukup menjelaskan apa saja yang termasuk data perorangan. Oleh sebab itu, masih diperlukan referensi yang dimaksud data pribadi dalam peraturan perundangan lain. Sebagai contoh, Pasal 84 UU Adminduk menjelaskan data pribadi penduduk yang harus dilindungi meliputi:
a. nomor KK (Kartu Keluarga);
b. NIK (Nomor Induk Kependudukan);
c. tanggal/bulan/tahun lahir;
d. keterangan tentang kecacatan fisik dan/atau mental;
e. NIK ibu kandung;
f.  NIK ayah; dan
g. beberapa isi catatan Peristiwa Penting.
Terkait hal tersebut dapat simpulkan bahwa setiap informasi pribadi yang berisi nomor KK, NIK (nomor KTP), tanggal/bulan/tahun lahir, keterangan tentang kecacatan fisik dan/atau mental, NIK ibu kandung, NIK ayah, dan beberapa isi catatan Peristiwa Penting yang ada dalam internet sebagaimana pasal 84 UU Adminduk merupakan bagian dari sebuah data pribadi yang wajib dilindungi.
Lalu, bagaimana jika data pribadi Anda hilang, dimanipulasi secara illegal, bocor, atau gagal dilindungi oleh Penyelenggara Sistem Elektronik (“PSE”)?
Terkait perlindungan data pribadi oleh PSE, Pasal 15 ayat (2) PP PSTE mengatur bahwa dalam hal penyelenggara sistem elektronik mengalami kegagalan dalam menjaga data pribadi yang dikelola, maka PSE diwajibkan untuk menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada pemilik data pribadi.
Bunyi Pasal 15 ayat (2) PP PSTE:
“Jika terjadi kegagalan dalam perlindungan data pribadi yang dikelola, Penyelenggara Sistem Elektronik wajib memberitahukan secara tertulis kepada Pemilik Data Pribadi”
Pasal ini tidak menjelaskan batasan kegagalan yang dimaksud. Secara umum, kegagalan ini dapat dikategorikan menjadi 2 (dua), Pertama, kegagalan prosedural kerahasiaan dan keamanan dalam pengolahan data. Kedua, kegagalan sistem dari aspek keandalan dan aspek keamanan terhadap Sistem yang dipakai, dan aspek beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya (lihat Penjelasan Pasal 15 ayat [1] UU ITE).
Terjadinya kegagalan sistem bisa disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Salah satu faktor eksternal yang sering terjadi adalah adanya cybercrime. Dilihat dari jenis aktivitasnya, cybercrime dapat berupa hacking, cracking, phising, identity theft, dll. Dampak kerugian yang timbul antara lain kebocoran data pribadi, manipulasi data, pelanggaran privasi, kerusakan sistem, dsb.

B.   Perlindungan Data Pribadi dari Akses dan Interferensi Ilegal
Bilamana terjadi cracking yang dapat berakibat hilang, berubah atau bocornya data yang berifat rahasia maupun data pribadi, UU ITE memberikan perlindungan hukum terhadap keamanan data elektronik tersebut dari pengaksesan ilegal.
Setiap perbuatan melawan hukum dengan mengakses sistem elektronik yang bertujuan untuk memperoleh Informasi/Dokumen Elektronik dengan cara melanggar sistem pengamanan dianggap sebagai tindak pidana sesuai Pasal 46 jo Pasal 30 UU ITE. Perbuatan ini diancam dengan sanksi pidana penjara paling lama 6 sampai 8 tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 sampai Rp800.000.000,00.
Pasal 30 UU ITE selengkapnya berbunyi:
1)    Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
2)    Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
3)    Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
Sedangkan Pasal 46UU ITEberbunyi:
a.       Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
b.      Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
c.       Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Terkait perlindungan data pribadi dalam bentuk Dokumen Elektronik atau Informasi Elektronik, Pasal 32 UU ITE mengatur tentang larangan bagi setiap Orang untuk melakukan interferensi (mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan) terhadap bentuk Dokumen Elektronik atau Informasi Elektronik tanpa hak dan dengan cara melawan hukum. Ancaman hukuman atas perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 48 UU ITE.
Pasal 32 UU ITE selengkapnya berbunyi:
a.       Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.
b.      Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak.
c.       Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.
Sedangkan Pasal 48 UU ITE berbunyi:
a.       Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
b.      Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
c.       Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Dalam perkembangan teknologi, media sosial muncul sebagai saran berkomunikasi gaya baru. Hal ini tentu berpotensi terjadi penyalahgunaan data pada saat kegiatan interaksi antara pengguna media sosial. Hal ini dapat terjadi apabila pengguna merasa informasi maupun data yang tertera maupun dicantumkan dalam jejaring sosial tersebut, digunakan oleh pihak lain, untuk tujuan yang dianggap mengganggu, membahayakan bahkan mengancam orang lain. Berdasarkan hal itu maka, pemilik situs jejaring sosial membuat kebijakan privasi (Privacy Policy) yang memuat ketentuan mengenai sejauh apa data atau informasi dari pengguna jejaring sosial dapat diakses atau diketahui oleh pihak selain pengguna akun itu sendiri.
Apabila kebijakan privasi tersebut di langgar oleh salah satu pihak, khususnya pihak penyedia jasa layanan media sosial akan menimbulkan suatu kondisi yang disebut penyalahgunaan data pribadi, karena pihak penyedia jasa layanan sosial media menyalahi kesepakatan dengan pengguna, mengenai kewenangan penyedia jasa layanan media sosial mengolah data pengguna.
Facebook selaku penyelenggara sistem elektronik menyimpan data selama itu diperlukan untuk menyediakan produk dan layanan pengguna secara keseluruhan. Biasanya, informasi yang terkait dengan akun pengguna akan disimpan sampai akun pengguna tersebut dihapus. Privacy Policy Facebook hanya menjelaskan bagaimana data atau informasi pengguna itu ditangani oleh Facebook. Pernyataan perlindungan privasi serta ruang lingkup tanggung jawab hukum Facebook selaku penyelenggara sistem elektronik terdapat pada Statement of Right and Responsibilities, dimana terjadi perjanjian kontraktual antara pengguna dan Facebook selaku penyelenggara sistem elektronik. Apabila terjadi permasalahan hukum antara pengguna dengan Facebook, sesuai dengan Statement of Rights and Responsibilities yang telah disetujui oleh pengguna dan Facebook selaku penyelenggara sistem elektronik maka pengguna setuju untuk :
1.         Menyerahkan segala urusan atau tindakan hukum yurisdiksi personal yang melekat pada segala jenis subjek hukum, baik perserorangan maupun badan hukum, pada pengadilan negara bagian atau federal yang berlokasi di Santa Clara County.
2.         Tunduk pada hukum negara bagian California, Amerika Serikat, tanpa memandang adanya pertentangan hukum.
Untuk pihak pengguna yang berada diluar wilayah Amerika Serikat, bersedia data pribadinya di transmisikan dan diproses di Amerika Serikat.
Tanggung jawab Facebook selaku penyelenggara sistem elektronik terkait perlindungan data pribadi pengguna tercantum dengan rinci dalam Statement of Rights and Responsibilities, yang merupakan dokumen hukum yang bersifat kontraktual antara pengguna dan Facebook, didalamnya memuat Hak, kewajiban serta ruang lingkup tanggung jawab Facebook yang disertai dan didukung dengan dokumen pendukung lain.
Penggunaan data yang terjadi antara Facebook selaku penyelenggara sistem elektronik dengan pengguna, tertuang dalam Statement of Rights and Responsibilities. Pengguna menyetujui untuk tunduk dengan kebijakan yang telah ditetapkan sepihak oleh Facebook. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa terjadi hal yang tidak sesuai dengan perjanjian antara pengguna dan Facebook. Diluar hal tersebut, menurut Undang – undang nomor 10 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik, ada beberapa hal yang harus dilaksanakan oleh Facebook selaku penyelenggara sistem elektronik. Salah satu pasal yang melindungi data pribadi maupun hak-hak pribadi ada pada pasal 26 Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik yang berbunyi :
1.               “Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundangundangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.
2.               Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.
Persetujuan yang dimaksud dalam pasal tersebut mengisyaratkan tidak hanya sekedar setuju dan bersedia bahwa data pribadinya digunakan, melainkan perlu adanya kesadaran untuk memberikan persetujuan atas penggunaan atau pemanfaatan data pribadi sesuai dengan tujuan atau kepentingan yang disampaikan pada saat perolehan data. Bentuk perlindungan lain dalam peraturan ini tertuang dalam pasal 15 mengenai tindakan preventif mengenai kewajiban penyelenggara sistem elektronik dalam menyediakan sistem elektronik, yang berbunyi :
1.         Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya.
2.         Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya.
3.         Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.
Berdasarkan penjelasan pasal 15 Undang – undang nomor 11 tahun 2008 menerangkan bahwa yang dimaksud andal, aman serta bertanggung jawab yaitu : “Andal” artinya Sistem Elektronik memiliki kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan penggunaannya, sedangkan “Aman” artinya Sistem Elektronik terlindungi secara fisik dan nonfisik, dan “Beroperasi sebagaimana mestinya” artinya Sistem Elektronik memiliki kemampuan sesuai dengan spesifikasinya. “Bertanggung jawab” artinya ada subjek hukum yang bertanggung jawab secara hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut. Apabila terjadi kerusakan atau kegagalan sistem yang terjadi maka kewajiban yang harus dilakukan penyelenggara sistem elektronik berdasarkan pasal 15 ayat 2 PP PSTE, memberitahukan secara tertulis kepada pengguna. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa penggunaan data yang dilakukan oleh Facebook terhadap data pengguna tertuang dalam Statement of Rights and Responsibilities dan Privacy Policy, apabila penggunaan data tersebut diluar dari dari yang telah diperjanjikan, maka dapat memenuhi unsur dari pasal 26 Undang – undang nomor 11 tahun 2008 dan dapat diajukan atas dasar kerugian yang ditimbulkan dari tindakan tersebut. Hal serupa diperjelas pada pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perbuatan dapat dimintai pertanggung jawaban hukum sepanjang memenuhi empat unsur, yaitu :
1. Adanya perbuatan.
2. Adanya unsur kesalahan.
3. Adanya kerugian.
4. Adanya hubungan sebab akibat antara kesalahan dan kerugian.
Ditinjau dari Undang undang nomor 11 tahun 2008 dan peraturan pelaksananya beserta peraturan lain yang terkait, apabila penyalahgunaan data yang dilakukan oleh Facebook memenuhi unsur diatas, misalnya Facebook melakukan pemindahan data tanpa sepengetahuan pengguna, dari perbuatan tersebut Facebook tentu menyalahi perjanjian penggunaan data. Apabila timbul kerugian yang merupakan sebab akibat dari perbuatan tersebut, maka dari perbuatan tersebut Facebook harus bertanggung jawab atas perbuatannya. berdasarkan dasar hukum yang ada, yaitu perjanjian antara pengguna dan Facebook, perbuatan tersebut dapat diajukan gugatan secara perdata dengan landasan ganti kerugian yang tentunya akan dilaksanakan di Santa Clara County, California, Amerika Serikat
Ditinjau dalam pasal 30 undang – undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik mengenai pengaksesan secara ilegal yang berbunyi :
1.         Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
2.         Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
3.         Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
Pasal tersebut dijelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan tanpa hak atau melawan hukum, yang berarti bahwa melanggar melakukan perbuatan diluar dari cara dan ketentuan yang wajar dalam mengkases komputer atau sistem elektronik sebagaimana mestinya, merupakan salah satu unsur untuk memenuhi perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam pasal ini.
Selanjutnya apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan tujuan tertentu sebagai mana disebutkan dalam angka 1 hingga 3, yaitu bertujuan memperoleh informasi elektronik, dan atau dengan cara melanggar, menerobos. melampaui atau menjebol sistem pengamanan yang ada dengan sengaja dan sadar akan perbuatan nya dapat digolongkan memenuhi unsur dalam pasal ini secara terpisah maupun keseluruhan. Perbuatan tersebut diatas merupakan salah satu tindakan yang dapat digolongkan sebagai penyalahgunaan data, karena menggunakan atau mendapatkan data dengan cara yang tidak diperkenankan dan diperbolehkan sebagaimana mestinya oleh peraturan terkait.
Tindakan penyalahgunaan tersebut yang mungkin saja dilakukan oleh sesama pengguna Facebook maupun orang lain yang dengan sengaja melakukan perbuatan tersebut, oleh undang – undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik tidak diperkenankan, dan diancam dengan hukuman, sebagaimana tertulis dalam pasal 46, yang berbunyi :
1.         Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
2.         Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
3.         Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Selain tindakan pengaksesan secara ilegal, dalam undang undang ini juga diatur mengenai pelarangan jenis penyalahgunaan data yang berpotensi dilakukan oleh sesama pengguna terhadap pengguna lain, yaitu terkait penambahan, pemindahan maupun menyebabkan data pribadi pengguna lain berubah menjadi data publik. Diatur dalam pasal 32 yang berbunyi sebagaimana berikut :
1.               Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.
2.               Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak.
3.               Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.
Menurut undang – undang nomor 11 tahun 2008 diancam dengan hukuman yang disebutkan dalam pasal 48, yang berbunyi :
1.      Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
2.      Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
3.                  Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).