Kamis, 29 Januari 2015

RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA


Hukum Pidana disusun dan dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan dalam masyarakat agar dapat dipertahankan dari segala kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya kedamaian dan ketertiban.
Dalam hal diberlakukannya hukum pidana ini, dibatasi oleh hal  hal yang sangat penting,   yaitu :
  1. Batas waktu (diatur dalam buku Pertama, Bab I  Pasal 1 KUHP)
  2. Batas tempat dan orang (diatur dalam buku Pertama Bab I Pasal 2 – 9 KUHP)

A. BATAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU
Prinsip/asas legalitas telah diperjuangkan sejak abad XVIII di Eropa Barat sebagai reaksi atas berlakunya hukum pidana zaman monarki absolut dengan menjalankan hukum pidana secara sewenang-wenang, sekehendak dan menurut kebutuhan Raja sendiri.
Ahli hukum yang memperjuangkan dan memperkenalkan asas legalitas ini yang terkenal adalah Montesquieu (1689-1755) dengan teori Trias Politica nya yang disempurnakan oleh Von Feurbach (1755-1833). Trias Politica, mempunyai  pengertian yaitu
  1. Kekuasaan legislatif atau membuat perundang-undangan yang dipegang leh parlemen.
  2. Kekuasaan eksekutif yang menjalankan pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah
  3. Kekuasaan yudikatif atau kehakiman, yakni badan yang menjalankan hukum yang telah dibuat oleh parlemen. Badan kehakiman ini tidak bertugas menentukan tentang perbuatan apa yang dilarang dan diancam pidana, melainkan hanya semata-mata bertugas untuk memeriksa dan memutus apakah suatu perbuatan tertentu telah bertentangan dengan ketentuan undang-undang.
Dengan adanya ajaran Trias Politica itu, untuk memidana seseorang atas perbuatan yang dilakukannya, disyaratkan agar terlebih dulu harus ada ketentuan hukum yang menyatakan perbuatan itu sebagai dilarang dan dapat dipidana (dibuat dulu aturan oleh legislatif).
Anselm Von Feuerbach (Belanda) melakukan upaya yang lebih konkret dalam memperkenalkan asas legalitas yang terkenal dengan ucapannya dalam bahasa latin (dalam bukunya yang berjudul “Lehrbuch des peinlichen Recht”, 1801) yaitu “Nullum delictum nulla poena sina praevia lege” yang artinya tidak ada pidana tanpa adanya ketentuan hukum yang lebih dulu menentukan demikian. Ucapannya ini secara jelas mengandung pengertian sebagaimana yang dimaksud dengan asas legalitas
Selanjutnya menurut Anselm Von Feuerbach beliau mengajarkan bahwa untuk menjamin dan mempertahankan ketertiban masyarkat, pidana harus berfungsi menakut-nakuti orang-orang agar tidak berbuat jahat, dan agar orang takut berbuat jahat, terlebih dulu ia harus mengetahui tentang ancaman pidana terhadap perbuatan jahat tersebut.
Agar orang mengetahui perihal ancaman pidana itu, hal-hal yang dilarang beserta ancaman pidananya itu harus ditetapkan terlebih dulu dalam UU.
Asas legalitas yang juga dikenal dengan asas “asas nulla poena” pertamakali dimuat dalam pasal 8 “Declaration des droits de L’hommeet du Citoyen” (1789), semacam Undang-Undang Dasar yang pertama dibentuk pada masa revolusi Prancis, yang bunyinya “tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah (Moeljatno, 1983 : 24). Kemudian asas ini dimuat dalam Pasal 4 Code Penal Prancis tahun 1810.
Ketika Belanda lepas dari pemerintahan Prancis tahun 1813, Code Penal ini tetap diberlakukan di Belanda sampai digantinya WvS Nederland 1881.
Code Penal 1810 ini berlaku 75 tahun di Belanda walaupun sifatnya sementara. Dalam WvS Nederland (disusun tahun 1881 dan mulai berlaku tahun 1886) yang baru ini asas legalitas dari Code Penal Prancis itu masuk didalamnya (Pasal 1 ayat 1).
Berdasarkan asas konkordansi WvS Nederland diberlakukan di Hindia Belanda pada 1 Januari 1918 menjadi Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (yakni kini KUHP), dimana juga asas legalitas ini tetap tercantum di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP Indonesia.
Pasal 1 ayat 1 KUHP merumuskan “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada terlebih dulu “Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan vooragegane wettelike strafbepaling). Asas ini dalam bahasa latinnya adalah Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”.
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut, ada tiga pengertian dasar dalam asas legalitas itu yaitu :
1)      Ketentuan hukum pidana itu harus ditetapkan lebih dahulu secara tertulis.
2)      Dalam hal untuk menentukan suatu perbuatan apakah berupa tindak pidana ataukah bukan tidak boleh menggunakan penafsiran analogi.
3)      Ketentuan hukum pidana tidak berlaku surut (terugwerkend atau retroaktif).
Dari tiga pengertian dasar diatas, tampak betul bahwa asas legalitas ini berlatarbelakang pada kepastian hukum yang berkaitan dengan perlindungan yang lebih konkret terhadap hak-hak warga yang berhadapan dengan kekuasaan pemerintahan negara
Dengan asas legalitas terhindar dan dapat mencegah kesewenang-wenangan penguasa dalam bidang peradilan pidana. Asas legalitas adalah ajaran kepastian hukum. Dapat disimpulkan hukum pidana harus tertulis, tidak boleh ada penafsiran analogi dan tidak boleh berlaku surut.
1). Hukum pidana harus tertulis.
Peraturan perundangan haruslah tertulis karena tertulis berarti harus ditetapkan terlebih dulu, baru kemudian diberlakukan. Ketentuan pidana harus tertulis bukan saja dalam bentuk undang-undang, tetapi juga tertulis dalam bentuk peraturan-peraturan lainnya yang tingkatannya dibawah undang-undang. Jadi, sumber hukum pidana itu bukan saja UU dalam arti formil tetapi juga dalam arti materil termasuk peraturan pemerintah, peraturan daerah (kabupaten atau kota), peraturan menteri, keputusan presiden dan lain sebagainya yang mengandung aspek hukum pidana.
Kelemahan :
Hukum pidana yang harus dibuat tertulis mempunyai kelemahan yaitu hukum pidana kaku, tidak dapat dengan cepat mengikuti perkembangan masyarakat dan lagi pula banyak perbuatan-perbuatan dalam masyarakat yang patut dipidana seperti dalam hukum adat (pidana) yang masih hidup namun tidak dapat dijalankan karena tidak ada bandingannya dalam peraturan tertulis ini. Untuk peran hukum adat sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 ayat 3b UU No. 1 (drt) 1951 sangatlah penting.
2) Larangan Menggunakan Penafsiran Analogi Dalam Hukum Pidana
Salah satu pekerjaan hakim adalah melakukan penafisran hukum, terutama terhadap norma tindak pidana dalam hukum tertulis ketika norma tersebut diterapkan dalam suatu peristiwa konkret tertentu. Norma-norma hukum pidana mengenai rumusan tindak pidana ketika diterapkan pada kejadian atau peristiwa-peristiwa konkret tertentu tidak jarang memerlukan penafsiran
Hal ini dapat terjadi pada peristiwa tertentu yang tidak sama persis dengan apa yang dirumuskan dalam UU, mengenai salah satu atau beberapa unsur tindak pidananya. Ada beberapa macam penafsiran yang telah dikenal dalam doktrin hukum pidana yaitu penafisran autentik, penafsiran gramatikal, penafsiran logis, penafsiran sistematis, penafisran historis, penafisran ekstensif, penafsiran a kontrario, penafsiran terbatas dan penafisran analogis.
Dari sekian penafsiran diatas penafsiran analogi oleh berbagai kalangan ahli hukum tidak boleh digunakan dalam hukum pidana, mengingat pasal 1 (1) KUHP walaupun ada sebagian pakar hukum membolehkan seperti Tavarne, Pompe, Jonkers, di Indonesia Wirjono Prodjodikoro.
Alasan mengapa analogi dilarang dalam hukum pidana berpokok pangkal untuk menjamin kepastian hukum. Dirasakan sebagai penyerangan dan pelanggaran atas kepastian berlakunya hukum apabila analogi itu dipergunakan, sebagaimana dasar dibentuknya rumusan Pasal 1 (1) KUHP ialah pada latar belakang kepastian hukum dalam rangka melindungi rakyat dari upaya kesewenang-wenangan penguasa melalui para hakim. Akan tetapi, terlepas dari adanya kelemahan dari larangan menggunakan analogi, perluasan berlakunya hukum yang demikian ini mempunyai manfaat dalam upaya mencapai keadilan, dimana menurut masyarakat sesuatu perbuatan yang tidak secara tepat dapat dipidana melalui aturan pidana tertentu, namun dengan menggunakan analogi bagi pelaku perbuatan itu menjadi dapat dipidana.
Diakui bahwa analogi mengurangi kepastian hukum dan dapat disalahgunakan oleh penguasa melalui para hakimnya atau oleh hakim yang tidak bijaksana, namun begitu analogi amat berguna dan dapat dipakai dalam hal untuk mengisi kekosongan dalam peraturan perundang-undangan.
Analogi adalah penafsiran terhadap suatu ketentuan hukum (pidana) dengan cara memperluas berlakunya aturan hukum tersebut dengan mengabstraksikan rasio ketentuan itu sedemikian rupa luasnya pada kejadian konkret tertentu sehingga kejadian yang sesungguhnya tidak masuk ke dalam ketentuan itu menjadi masuk ke dalam isi atau pengertian ketentuan hukum tersebut.
Dengan kata lain,  analogi itu terjadi apabila suatu peraturan hukum menyebut dengan tegas suatu kejadian yang diatur, tetapi peraturan itu dipergunakan juga bagi kejadian/peristiwa lain yang tidak termasuk dalam peraturan itu, ada banyak persamaannya dengan kejadian yang disebut tadi.
Contoh kasus : misalnya dari ketentuan pasal 365 (2) sub 1 yang antara lain melarang melakukan pencurian dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan, berlaku juga pada pencurian dalam sebuah bis yang sedang berjalan. Dalam hal ini bis dianalogikan dengan kereta api atau trem sehingga orang yang mencuri dalam sebuah bis yang sedang berjalan dapat pula diterapkan ketentuan hukum pidana menurut Pasal 365 (2) sub 1 ini. Mengapa bis dianalogikan dengan trem, rasio larangan mencuri didalam trem yang sedang berjalan yang berlatar belakang pada larangan mencuri dalam kenderaan angkutan yang sedang berjalan pada dasarnya sama dengan rasio melarang mencuri dalam sebuah bis yang sedang berjalan karena kereta api, trem dan bis adalah sama, angkutan umum yang berjalan.
Mengapa tidak disebut bis dalam Pasal 365 ayat 2 sub 1 karena ketika KUHP (WvS Belanda 1881) dibentuk, belum ada bis yang dipergunakan sebagai angkutan umum seperti keadaan sat ini. Jadi apa salahnya dengan analogi melarang pula mencuri dalam sebuah bis yang sedang berjalan.
Pengertian seperti ini sesuai dengan pengertian dari perbuatan mengambil sebagai unsur tingkah laku pada pencurian yaitu berupa benda-benda yang dapat diambil, artinya yang dapat dipindahkan kekuasaannya dalam arti yang sebenarnya. Mengambil dalam arti berbuat sesuatu dengan memindahkan kekuasaan atas sesuatu benda ke dalam kekuasaannya/ ke tangannya menurut akal pikiran orang pada umumnya hanyalah dapat dilakukan pada benda-benda berwujud dan bergerak saja. Aliran/energi dari sudut pandang demikian bukanlah benda. Akan tetapi, untuk menjangkau keadilan, Hoge Raad telah menggunakan analogi dengan memberi arti baru tentang benda, yakni berupa sesuatu bagian dari kekayaan manusia. Dengan dasar pengertian semacam itu, energi listrik dapat pula merupakan benda yang menjadi objek pencurian. Energi listrik adalah bagian kekayaan, karena mempunyai nilai ekonomis. Pemakaian energi itu harus membayar kepada perusahaan si pemilik energi. Dengan alasan seperti itu, maka dapat dimengerti bahwa kemudian pada sebagian ahli hukum memberi arti baru bahwa benda merupakan sesuatu yang bernilai ekonomis dan mempunyai nilai bagi manusia. Contoh lain : dalam sejarah praktik hukum, dengan menerapkan analogi yang terkenal dan banyak dimuat dalam berbagai literatur hukum, dalam arrest HR tanggal 23 Mei 1921  yang meganalogikan aliran/tenaga listrik itu dengan pengertian benda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362 KUHP (pencurian). Pengertian benda dalam kejahatan ini menurut keterangan dalam MvT mengenai pembentukan Pasal 310 WvS Belanda (362 KUHP kita) terbatas pada benda-benda bergerak (roerent goed) dan benda-benda berwujud (Stoffelijk goed).
3) Hukum pidana tidak berlaku surut
Pernyataan hukum pidana tidak berlaku surut, tepai berlaku ke depan dapat disimpulkan dari kalimat yang menyatakan “…..ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada” (Pasal 1 ayat 1 KUHP). Yang artinya adalah ketika perbuatan itu dilakukan telah berlaku aturan hukum pidana yang melarang melakukan perbuatan tersebut. Disini perlu ada kepastian hukum (rechtszekerheid).
Pernyataan hukum pidana tidak berlaku surut, tetapi berlaku ke depan dapat disimpulkan dari kalimatnya yang menyatakan “…..ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada” (Pasal 1 ayat 1 KUHP). Yang artinya adalah ketika perbuatan itu dilakukan telah berlaku aturan hukum pidana yang melarang melakukan perbuatan tersebut. Disini perlu ada kepastian hukum (rechtszekerheid).
Selanjutnya pada Pasal 1 ayat 2 KUHP berbunyi “bilamana ada perubahan dalam peraturan perundang undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan”. (Disini mengandung keadilan)
Pasal 1 ayat 2 KUHP ini (asas retroaktif) adalah pengecualian pasal 1 ayat 1 KUHP (asas legalitas). Disini terjadi hukum boleh diberlakukan surut (hukum diberlakukan kebelakang)
Ada 3 syarat diberlakukannya hukum berlaku ke belakang/surut menurut pasal 1 ayat 2 KUHP yaitu :
1)         Harus ada perubahan perundang-undangan mengenai suatu perbuatan,
2)         Perubahan tersebut terjadi setelah perbuatan dilakukan, dan
3)         Dimana peraturan yang baru itu lebih menguntungkan atau meringankan bagi pelaku perbuatan itu.

B. BATAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT DAN  ORANG.
Batas diberlakukannya hukum pidana menurut tempat diatur dalam pasal 2,3,4,8,9 KUHP sedangkan batas berlakunya hukum pidana menurut orang atau subjeknya diatur dalam pasal 5,6,7 KUHP.
Mengenai berlakunya hukum pidana menurut tempat dan orang dikenal ada 4 asas yaitu :
  1. Asas teritorialiteit (territorialiteits-beginsel) atau asas wilayah negara
  2. Asas personaliteit (personaliteits beginsel) disebut juga dengan asas kebangsaan, asas nationalitet aktif atau asas subjektif (subjektions prinsip)
  3. Asas perlindungan (bescbermings beginsel) atau disebut juga asas nasional pasif
  4. Asas universaliteit (universaliteits beginsel) atau asas persamaan
Ad.a. Asas teritorialiteit :
Adalah asas yang memberlakukan KUHP bagi semua orang yang melakukan pidana di dalam lingkungan wilayah Indonesia. Asas ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 dan 3 KUHP. Tetapi KUHP tidak berlaku bagi mereka yang memiliki hak kebebasan diplomatik berdasarkan asas ”ekstrateritorial”.
Asas teritorial ini diatur dalam pasal 2 yang berbunyi “aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah Indonesia”
Disini siapapun yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia dapat dipidana sesuai hukum pidana yang berlaku di Indonesia baik didarat, laut maupun udara.
Wilayah laut 12 mil pulau terluar, kalau kurang dari 12 mil, maka di pakai garis tengah selat (selat malaka) = UU No 4/Prp/1960 Pasal 1 ayat 2.

Ad. b. Asas Personaliteit.
Adalah asas yang memberlakukan KUHP terhadap orang-orang Indonesia yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Republik Indonesia. Asas ini bertitik tolak pada orang yang melakukan perbuatan pidana. Asas ini dinamakan juga asas personalitet. Asas ini terdapat dalam Pasal 5, 6, 7 dan 8 KUHP
Pasal 5 KUHP
(1) :      Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia  berlaku bagi warganegara Indonesia yang melakukan diluar Indonesia :
1 e.salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua, dan dalam Pasal Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451;
2 e.suatu perbuatan yang dipandang sebagai kejahatan menurut ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia dan boleh dihukum menurut undang-undang negeri tempat perbuatan itu dilakukan.
(2) : Penuntutan terhadap suatu perbuatan yang dimaksudkan pada ke   2e boleh juga dilakukan, jika tersangka baru menjadi warganegara Indonesia setelah melakukan perbuatan itu
Pasal 5 ayat 1 berbunyi “Ketentuan pidana dalam Peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku terhadap warga negara yang diluar Indonesia melakukan
  1. Salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451 KUHP
  2. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan pidana Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana
Pasal 5 ayat 2 berbunyi “Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.
Bab I berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara (104-129) dan Bab II adalah mengenai kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden (130-139).
Pasal 5 ayat 1 ke-1 KUHP hanya berlaku berkaitan dengan tindak pidana yang terjadi kepada setiap warga negara RI yang melakukan diluar Indonesia sebagaimana diancam dalam pasal-pasal tersebut.
Sedangkan pasal 5 ayat 1 ke-2 hanya berlaku berkaitan dengan tindak pidana setiap warga negara RI yang melakukan diluar Indonesia namun tindak pidana tersebut harus berupa kejahatan bukan pelanggaran dan perbuatan tindak pidana tersebut oleh negara dimana perbuatan tersebut dilakukan juga merupakan perbuatan pidana yang dapat diancam.
Sedangkan ayat 2 Pasal 5 berkaitan dengan apabila ada orang asing melakukan tindak pidana diluar negeri setelah itu ia masuk warga negara Indonesia. Maka dapat juga dituntut menurut ayat 2 ini.
Pasal 6 KUHP.
Berlakunya pasal 5 (1) angka 2e itu dibatasi hingga tidak boleh dijatuhkan hukuman mati untuk perbuatan yang tiada diancam dengan hukuman mati menurut undang-undang negeri tempat perbuatan itu dilakukan
Selanjutnya dalam pasal 7 berbunyi “ketentuan pidana dalam perUUan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat Indonesia yang diluar Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam bab XXVIII buku kedua.
Pasal 7 ini menerangkan khusus warga negara sebagai pejabat Indonesia (PNS) yang melakukan perbuatan yang diancam salah satu bab XXVIII. Artinya pasal ini tidak berlaku warga negara yang bukan pejabat.
Selanjutnya dalam pasal 8 KUHP berbunyi “ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nakhoda dan penumpang kenderaan air Indonesia, yang diluar Indonesia, sekalipun diluar kenderaan air, melakukan salah satu tindak pidana sbgmana dimaksudkan dalam bab XXIX buku kedua, dan bab IX buku ketiga, begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal Indonesia maupun dalam ordonansi perkapalan (schepnordonantie, 1927). Bab XXIX buku kedua membahas tentang kejahatan-kejahatan pelayaran (Pasal 438-479) sedangkan bab IX buku ketiga ttg pelanggaran mengenai pelayaran (pasal 560-569)

Ad.c. Asas Perlindungan atau Asas nasional Pasif
Adalah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap siapapun juga baik WNI maupun WNA yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Indonesia. Jadi yang diutamakan adalah keselamatan kepentingan suatu negara. Asas ini bertumpu pada kepentingan bangsa dan negara bukan kepentingan pribadi/individu diatur dalam pasal 4 KUHP
Pasal 4 KUHP
Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia diterapkan terhadap setiap orang yang melakukan di luar Indonesia yaitu salah satu kejahatan berdasarkan pasal 104, 106, 107, 108, 110 bis ke 1, 127 dan 131, Juga kejahatan mata uang kertas, materai, merek yang dikeluarkan pemerintah Indonesia, dll.

Ad.d. Asas Universaliteit
Asas ini berlaku untuk kepentingan penduduk dunia atau bangsa dunia. Jadi bukan sekedar kepentingan bangsa Indonesia Diatur dalam pasal 4 ayat 2,3,4 KUHP, misalnya pasal 4 ayat 4 berkaiatan dengaan pembajakan di laut bebas (446) dan pembajakan udara (479) dan penerbangan sipil, pemalsuan uang negara lain yang bukan uang negara Indonesia
Asas universaliteit adalah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Indonesia yang bertujuan untuk merugikan kepentingan internasional. Peristiwa pidana yang terjadi dapat berada di daerah yang tidak termasuk kedaulatan negara manapun. Jadi yang diutamakan oleh asas tersebut adalah keselamatan internasional.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar